Senin, 08 September 2014

TEKNOLOGI: AGAMA BARU MODERNITAS?



Maraji’
TEKNOLOGI: AGAMA BARU MODERNITAS?
Sebuah Refleksi Kegetiran Atas Ancaman Kepunahan Agama


Rentetan panjang revolusi politik yang berlangsung di Eropa, terutama sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20, telah memunculkan berbagai perubahan. Perubahan yang berlangsung bukan hanya berdampak positif, tetapi juga sekaligus membawa perubahan negatif. Revolusi politik, terutama yang berlangsung di Prancis disinyalir telah menjungkirbalikkan tatanan masyarakat. Bahkan, konon tragedi ini bermuara pada munculnnya kekacauan (chaos) tatanan masyarakat. Sebuah tatanan baru yang menjanjikan masa depan, tetapi  pada saat yang bersamaan juga menyembunyikan kebobrokan sejarah-kemanusiaan yang teramat menakutkan.
Revolusi Prancis dan Revolusi Industri, sebagai kelanjutan dari zaman Pencerahan (Aufklärung), kemudian ditengarai sebagai datangnya era baru yang menggantikan masa primitif—sebuah zaman yang terlalu didominasi oleh akal-tradisional, mistik dan kepercayaan—menuju modernitas. Seperti ditulis F. Budi Hardiman, semenjak Max Weber, modernisasi dianggap sebagai proses rasionalisasi (rationa-lisierung).2 Persoalan ini juga yang dikupas oleh Adorno dan Horkheimer dalam Dialektik of Aufklärung serta yang diulas oleh Marcuse dalam One-Dimensional Man yang melukiskan bagaimana proses rasionalisasi masyarakat bermuara ke dalam tragedi besar. Dalam kerangka modernisasi, manusia mendewakan rasionalitasnya, sehingga manusia dianggap mempunyai otonomi dan kebebasan. Akan tetapi, dengan pendewaan terhadap rasionalitas tersebut, manusia dewasa ini justru terperangkap dalam jaringan birokrasi yang impersonal dan kehilangan makna serta aspirasinya sebagai makhluk bermartabat. Sehingga, rasionalitas yang semula kritis terhadap mitos-mitos tradisional yang menteror manusia, pada gilirannya menjadi mitos atau ideologi baru yang total dalam bentuk ilmu pengetahuan dan tekhnologi.3 
Di era transisi semacam ini, pandangan dunia (weltanschauung, world view) akan makna dunia-kehidupan (labenswelt) mengalami perubahan yang begitu dramatis. Perubahan mulanya diawali dengan munculnya pembongkaran besar-besaran terhadap pola fikir atau—meminjam istilah Thomas Kuhn—paradigma yang berpijak pada sistem kepercayaan semacam agama, namun akhirnya mengalami pergeseran ke arah rasionalisasi etis-kognitif yang sangat bercorak positivistik.4 Sehingga, fenomena ini bukan saja secara spontan mampu merubah cara pandang dalam menilai dunianya (culture), seperti nilai-nilai, estetika, dan etika, tetapi sebagai efek domino dari itu adalah, dengan serta merta mampu merubah dunia kehidupan yang secara real terjadi, yaitu dalam skala peradaban (civilization). Dalam pandangan Hubermas, proses semacam ini terjadi karena berkem-bangnya kemampuan rasionalisasi ke-budayaan (etis-kognitif) untuk diubah menjadi rasionalisasi sosial kemasyara-katan. Dengan kata lain, pandangan dunia (world view) yang sangat potensial untuk di-rasiona-lisasikan, mampu diter-jemahkan ke dalam tindakan sosial.5 
Pergeseran dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat rasional pada gilirannya melahirkan rasionalisasi kehidupan sosial. Sehingga, pergeseran tersebut menyebabkan terjadinya perombakan mendasar dalam berbagai aspek kehidupan. Contoh yang paling kentara misalnya ditampilkan melalui pengorganisasian (organizing) di dunia industri yang dilakukan secara sistemik dan terrencana. Dalam hirarki sosial-tradisional, kelahiran dan mobi-litas sosial relatif rendah. Sebaliknya, dalam hierarki sosial-modern, kelahiran, prestasi (ascription) dan mobilitas sosial sangat tinggi. Pada saat yang bersama-an, ‘estates’ (sistem tuan tanah, ‘lord’) telah digantikan oleh masyarakat yang terdiri atas ‘kelas-kelas’, yang lebih be-sar persamaan kesempatannya. Selain itu, dalam masyarakat tradisional, unit dasarnya adalah kelompok kecil, di mana setiap orang saling kenal, yang oleh Ferdinand Tönnies disebut ‘komunitas’ (gemeinschaft). Setelah terjadi modernisasi (rasionalisasi), inti dasarnya adalah ‘masyarakat’ luas yang impersonal (gesellchaft). Dalam bidang ekonomi, impersonalitas ini terwujud dalam bentuk pasar atau menurut Adam Smith, ditandai dengan kuatnya pengaruh ‘the invisible hand’. Sedangkan dalam konteks politik, gejala imperso-nalitas ditampilkan melalui sebuah sistem yang oleh Weber disebut dengan ‘birokrasi’.6 Sehingga, untuk dapat berperan dalam masyarakat yang lebih luas, anggota masyarakat kemudian membentuk perkumpulan-perkumpulan sukarela yang mempunyai tujuan-tujuan spesifik, seperti profesi, klub, partai politik dan sebagainya.
Dalam sebuah kajian tentang perubahan masyarakat (social transformation), Louis Irving Horowitz7 membedakan secara kontras antara pengertian tradisional dengan modern. Menurut Horowitz, tradisionalisme sekurang-kurangnya dicirikan oleh tiga indikator, yaitu: [1] keterbelakangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Daniel Lerner dalam penelitiannya, pengertian tradisi dihubungkan dengan keter-belakangan, yaitu ditandai oleh komu-nikasi yang lambat dan parokialisme yang diukur dengan terbatasnya lingkup kehidupan yang dijalani oleh orang-orang awam. Hal ini misalnya dicirikan oleh keterbelakangan informasi dan ekologi. [2] Pengawetan kesetiaan terhadap keyakinan agama, sehingga hal ini mempengaruhi kehidupan sehari-hari dalam pengertian yang seluas-luasnya. Meskipun demikian, tradisi agama sebetulnya tidak terlalu berkaitan dengan keterbelakangan. Bahkan, menurut Peter Berger,8 keyakinan agama seringkali berfungsi sebagai ideologi massa. [3] Indikator tradisio-nalisme ini memang terkait dengan indikator-indikator sebelumnya, namun pada pada level ini tradisional lebih dicirikan dari bentuk identifikasi yang tersendiri, misalnya terlihat dari iden-tifikasi kebudayaan. Berbeda dengan pengertian tradisional tadi, sebetulnya dalam pengertian yang lebih ketat, modernisasi yang bersifat non-ideologis pada dasarnya lebih menunjuk pada suatu istilah tekhnologi, terutama kaitannya dengan penggantian tenaga manusia oleh mesin-mesin. Moder-nisasi berkaitan dengan komunikasi informasi dalam tempo cepat, pemin-dahan orang dan jasa dengan cepat, otomasi jasa-jasa, dan sebagainya. Tegasnya, modernisasi—sebagaimana pernah dicetuskan oleh Harold Rosenberg—adalah sebuah tradisi baru yang mengacu pada urbanisasi, dan pengikisan (dalam takaran tertentu) sifat-sifat pedesaan yang berlangsung pada suatu masyarakat.9 
 
Globalisasi dan Kamuflase Agama
Di tengah sistem sosial modern-rasional, bentuk masyarakat secara perlahan (tapi pasti) menuju pada sebuah tatanan yang sama sekali baru, yang kemudian mengejewantah dalam bentuk sistem global—kondisi ini kemudian dikenal dengan istilah globalisasi.10 Dalam pandangan Abdul Aziz, MA, meskipun globalisasi telah membawa berkah tersendiri, berupa peluang membangun masyarakat sejahtera, terutama secara material, tetapi secara bersamaan juga menyim-pan tantangan tersendiri, khususnya bagi agama-agama “tradisi besar” (the great tradition), yaitu Yahudi, Kristen dan Islam.
Penulis buku ini mencatat seku-rang-kurangnya dua bentuk transfor-masi yang melatari munculnya peruba-han besar-besaran—untuk tidak menga-takan revolusioner—yang melanda seluruh belahan dunia, yaitu: Pertama, transformasi kapitalisme dari model tradisional yang bertumpu pada perusahaan-perusahaan keluarga, ke model baru yang menakankan petingnya tenaga profesional yang dibayar dan relatif independen, telah memungkinkan tumbuhnya perusa-haan-perusahaan trans-nasional (Trans-National Coorporation, TNC’s). Perubahan model kapitalisme ini yang dalam pandangan Clause Offe disebut dengan disorganized capitalism, telah menggunakan TNC’s untuk melakukan ekspansi pasar ke negara-negara bekas jajahan. Persebaran TNC’s yang amat cepat, seiring dengan semakin intensnya pemanfaatan produk-produk bertekh-nologi canggih di seluruh belahan dunia, membuat sistem perekonomian nega-ra-negara bekas jajahan terintegrasi ke dalam sistem ekonomi global. Akibat-nya, bukan hanya investasi dan modal asing saja yang masuk, melainkan produk-produk yang dihasilkan oleh TNC’s juga membanjiri pasaran di negara-negara pinggiran (pheriperal)—untuk tidak menyebut negara-negara berkembang dan negara-negara miskin, seperti Indonesia.
Kedua, sebagai akibat memban-jirnya produk-produk TNC’s ke berbagai negara bekas jajahan, pada akhirnya semakin mempercepat transformasi kebudayaan. Konsumsi yang dilakukan oleh massa yang relatif sangat luas terhadap produk-prduk yang dibuat secara massal, menyebabkan tercipta-nya kebudayaan yang berskala global—sebuah wujud kebudayaan yang oleh Horkheimer dan Adorno disebut dengan mass culture (kebudayaan massa). Kebudayaan seperti ini ditandai dengan ketidakberdayaan massa untuk menolak konsumsi berbagai produk baru yang dihasilkan oleh kemajuan tekhnologi. Makanya, Marcuse menganggap masyarakat industri-modern sebagai masyarakat yang tidak sehat. Sebuah masyarakat yang berdimensi satu, di mana segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan, yakni keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yang tidak lain adalah sistem kapitalisme.11 Akibatnya, masyarakat kemudian terjebak oleh—apa yang istilahkan Herbert Marcuse—dengan “kebutuhan semu,” yaitu semua kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya.12 Di mana, dalam memenuhi kebutuhan semu tersebut, orang biasanya tidak tahu mengapa ia membutuhkannya. Dorongan untuk membeli atau menggunakan tidak sungguh-sungguh timbul dari dalam dirinya sendiri, melainkan hanya sekedar melihat orang lain berbuat begitu. Kondisi seperti ini banyak disumbangkan oleh peranan media massa yang begitu massif menampil-kan iklan produk-produk industri-modern. Dengan kata lain, media massa melalui iklan-iklan yang ditayangkannya telah menjadi sarana yang paling ampuh untuk merangsang dan membangkitkan kehausan selera masyarakat.
Dalam perkembangan lebih lanjut, fenomena ekonomi konsumen dan politik kapitalisme yang semakin melembaga, pada gilirannya menciptakan semacam ‘kodrat kedua’ dalam diri manusia yang mengikatnya secara libidinal (dorongan nafsu) dan agresif pada barang-barang. Berbagai kebutuhan semu yang telah di-’introyeksi’-kan—sebuah istilah yang dipakai Marcuse dalam arti: “dimasukkan sedalam-dalamnya atau dibatinkan”—pada masing-masing individu sudah menjadi kebutuhan ‘biologis’ (sebuah kebutuhan yang mesti dipenuhi, bila tidak maka organisme akan sakit), bahkan menjadi bagian pokok kehidupan setiap individu. Seakan-akan, hanya dengan membeli barang-barang itu (baca: hasil produksi industri-modern-kapitalis), mereka dapat mewujudkan kehidupannya, sebab ketika hal itu tidak terpenuhi akan mengakibatkan mereka merasa frustasi.13  
Pada tataran lain, globalisasi—seperti disinggung di muka—bukan saja berproses pada massifnya lalu-lintas pertukaran dan peredaran uang melalui sistem pasar bebas (free trade market) dalam kerangka perekonomian dunia yang ditandai membanjirnya produk-produk bertekhnologi canggih yang dihasilkan industri negara-negara maju ke seluruh belahan dunia, melainkan juga berpenetrasi (baca: mengalami perembesan) pada ranah politik, dan bahkan sampai pada aspek budaya dan sistem kepercayaan, termasuk agama. Sehingga dalam skala global, “agama-agama tradisi besar”, seperti Islam dan Kristen yang nota bene merupakan salah-satu ranah kehidupan masya-rakat, praktis dihadapkan dengan tantangan—kalau bukan ancaman—kepunahan di masa depan.
Dalam memahami agama, Abdul Aziz nampaknya mengikuti pendekatan Robert N. Bellah dalam kajian studi agama. Bagi Bellah, agama merupakan seperangkat bentuk-bentuk simbolik dan tindakan-tindakan yang menghubungkan manusia dengan kondisi-kondisi puncak dari keberada-annya. Agama kemudian lebih dilihat dari proses simbolisasi yang mengha-dirkan terang hubungan manusia dengan kondisi puncak eksistensinya. Selanjutnya, Bellah mengkaji tentang tahapan-tahapan agama ke arah penyempurnaan—kalau bisa dikatakan demikian—menuju ekspresi simbolik yang paling mewakili kondisi zamannya. Tahap-tahap perkembangan agama, seperti analisis Bellah, mengikuti lima tahapan, yaitu mulai dari agama primitif, agama kuno (archaic religion), agama historis (the great tradition), agama awal modern (early modern religion), dan terakhir tahap agama modern. Pada tahapan agama terakhir inilah, Bellah mengalami kesulitan untuk merumus-kan sistem simbol agama modern. Hanya saja, dalam kaitannya dengan agama modern, Bellah menegaskan, bahwa manusia modern tidaklah identik dengan sekuler, materialistik dan dehumanis. Tumbuhnya model ekspresi simbolik agama pada taraf modern, misalnya dibuktikan dengan munculnya gagasan yang dimotori Tillich tentang naturalisme ekstatik (acstatic natura-lism) atau pemikiran Benhoefer mengenai ke-Kristenan tanpa agama (religionless Christianity) (h. 126). Di sini terlihat jelas, betapa pada taraf modern agama mengalami kekaburan (kamu-flase) dalam menerjemahkan ekspresi simboliknya yang paling genuine (asli, sejati). Dengan demikian, tantangan keagamaan pada era globalisasi akan mengacu pada proses pencarian simbol-simbol keagamaan baru yang relevan dengan situasi sosial baru yang dihadapi manusia.
Di samping itu, dalam panda-ngan Comte, tumbuhnya keaneka-ragaman pembagian kerja (division of labor) pada masyarakat yang kompleks (modern), berdampak pada terjadinya konflik dan disintegrasi. Hal ini terutama disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan, kepercayaan dan nilai-nilai yang semakin meningkat di tengah masyarakat. Sehingga, kondisi demi-kian hanya bisa diatasi melalui penciptaan suatu agama baru (pseudo-religion) yang bersumber dari ilmu pengetahuan, yang kemudian akan membentuk landasan bagi kesepakatan sosial baru (Cohen, 1968: 224; Coser, 1977: 7) (h 49). Pada taraf inilah, gagasan mengenai agama yang di-munculkan oleh Durkheim menemukan momentumnya. Dalam konteks ini, agama lebih menekankan pada peran-peran sosial dalam memenuhi kebutuhan integrasi dan kohesi sosial. Lebih jauh lagi, bagi Durkheim agama bukan hanya sebuah penciptaan sosial, melainkan cermin pengagungan masyarakat oleh masyarakat. Dengan kata lain, “tuhan” yang disembah sebenarnya adalah proyeksi kekuatan masyarakat itu sendiri yang ditran-sendensikan, sehingga agama kemu-dian berubah sesuai dengan perkemba-ngan dan kebutuhan masyarakat. Makanya, hilangnya agama tradisional tidak kemudian membawa disintegrasi masyarakat. Sehingga, ketika masyarakat modern terlampau mem-percayai produk-produk tekhnologi ketimbang sistem ajaran agama, maka pada taraf inilah posisi agama sangat dimungkinkan akan tergantikan oleh—apa yang dikenal dalam masyarakat modern dengan—’tekhnologi’. Sehing-ga, tanpa disadari tekhnologi bisa saja akan menjadi agama baru di tengah modernitas. Kemungkinan itupun semakin kuat seiring dengan menguat-nya perasaan ketergantungan manusia-manusia modern, menuju ketergantu-ngan total pada produk-produk tekhnologi. Ritual-ritual keagamaan yang dulu terpelihara dalam agama tradisi besar atau historis, lambat laun telah tergantikan oleh aktivisme yang pekat dengan aroma tekhnologis. Dalam komunitas Islam misalnya, shalat yang seharusnya dilakukan lima kali dalam satu hari satu malam (baca: shalat fardhu), kini tidak jarang tergantikan oleh berbagai jenis kegemaran baru, seperti nonton televisi, akses internet, atau mendengarkan ratusan koleksi lagu-lagu pilihan yang termuat dalam MP-3. Sementara dalam komunitas Kristen, kebaktian yang biasanya dilakukan pada hari minggu, seringkali terabaikan lantaran harus menjalani agenda refresing di tempat-tempat wisata, nonton film di bioskop-bioskop kenamaan, menyaksikan konser musik, mengunjungi super-market-supermarket yang memberikan kenyamanan berbelanja, atau untuk sekedar mengunjungi butik-butik yang menawarkan koleksi fashion terbaru. 
Melalui buku yang berjudul, “Esai-esai Sosiologi Agama”, Abdul Aziz, MA nampaknya ingin mengi-ngatkan pembaca pada memori-memori sejarah (historical memorized) yang membentuk kehidupan-dunia, seperti yang ditampilkan sekarang ini. Memang, untuk ukuran buku yang setebal 280 halaman ini, penulis nampaknya terlampau berambisi untuk mengupas seluruh persoalan-persoalan sosiologis, terutama keterkaitannya dengan fenomena agama yang dalam perjalanan sejarah telah mengawal setiap fase dari perkembangan masya-rakat. Kalau diperhatikan, spektrum materi yang dibahas dalam buku ini terlalu luas, yaitu mulai dari masalah paradigma (bab ke-1), sosiologi dan perubahan sosial (bab ke-2, 3 dan 4),  agama dan globalisasi (bab ke-5 dan 6), masalah kerukunan agama (bab ke-7, 8, 9, dan 10), bahkan sampai pada pembahasan tentang problem etika dalam penelitian sosial (bab ke-11). Seperti diakui oleh penulisnya sendiri, bahwa luasnya ruang pembahasan terutama karena buku ini merupakan kumpulan tulisan, baik dalam bentuk makalah yang pernah disampaikan dalam berbagai kesempatan, maupun dalam bentuk artikel yang dipublika-sikan dalam jurnal dan buku (baca: pengantar).
Buku ini memang tidak menyajikan sesuatu yang terlalu baru dalam kajian sosiologi agama. Meski demikian, menariknya buku ini seolah memancarkan semangat yang begitu menggebu-gebu, sekaligus juga mengajak pembaca untuk merasakan kegetiran ketika menyaksikan fenomena religiositas mutakhir dalam lanskap sosiologis, terlebih ketika disandingkan dengan realitas globalisasi. Akhirnya, tanpa sedikitpun berpretensi melakukan penilaian, dengan kelebihan sekaligus kekurangan yang terdapat di dalamnya, buku ini setidaknya akan memperkaya wawasan para pembacanya, terutama untuk menjelajah medan makna di tengah pelik-pelik sosiologi agama, hingga pada taraf perkembangannya yang paling mutakhir.

Catatan Akhir
1     Pelbagai rentetan sejarah panjang ini pada awalnya dihantarkan oleh Revolusi Prancis tahun 1789 di bidang politik, tetapi selanjutnya hal itu memicu perubahan-perubahan besar lainnya yang secara umum mempengaruhi kehidupan masyarakat Eropa ketika itu, misalnya terlihat dari pecahnya revolusi industri. George Ritzer dan Douglas J. Goodman mencatat, bahwa revolusi industri bukanlah kejadian tunggal, tetapi merupakan berbagai perkembangan yang saling berkaitan yang berpuncak pada transformasi dunia Barat dari corak sistem pertanian menjadi sistem industri [George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern [Modern Sociological Theory], Jakarta: Kencana, 2004, Cetakan Pertama, hal. 7]. 
2      Konsep rasionalitas menurut Weber tidak khas dimiliki oleh manusia Barat, melainkan merupakan ciri yang melekat pada modernitas itu sendiri. Sebab, dalam masyarakat tradisional, konsep rasionalisasi belum berkembang, sehingga rasionalisasi dalam masyarakat juga tidak mempengaruhi tindakan sosial. Artinya, pada masyarakat tradisional, masyarakat tidak mengenal rasionalitas tindakan, tetapi yang ada adalah tindakan tradisional. Perubahan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, dengan demikian menandai berprosesnya konsep rasionalitas dalam mempengaruhi tingkah-laku sosial. Konsep rasionalitas dipergunakan oleh Weber dalam berbagai konteks, seperti segi-segi tindakan tertentu, keputusan, dan pandangan-dunia sistematis. Weber membagi rasionalitas menjadi dua, yaitu [1] “rasionalitas-tujuan” atau rasionalitas instrumental” (zweckrationalität), yaitu sebuah tindakan yang mengacu pada perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran-sasaran berdasarkan pilihan-pilihan yang masuk akal dan dengan sarana-sarana yang efisien serta mengacu pada perumusan nilai-nilai tertinggi yang mengarahkan tindakan dan orientasi-orientasi yang terrencana secara konsisten dari pencapaian nilai-nilai tersebut. Ia bercirikan formal, sebab orang yang bekerja dengan rasionalitas ini hanya mementingkan cara-cara mencapai tujuan, tetapi tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai isi kesadaran. [2] “Rasionalitas-nilai” (wertrationalität), yaitu kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis, dan relijius. Pembahasan lebih jau menyangkut rasionalisasi bisa dibaca pada tulusan F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jürgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 1993, bab ke-5, hal. 73-100
3      F. Budi Hardiman, ibid, hal. 74
4     Dalam pandangan Auguste Comte (1798-1857), seorang tokoh yang dikenal dengan bapak sosiologi (the founding father of sosiology), bahwa masyarakat mengalami evolusi yang panjang. Evolusi menuju tertib sosial baru, ditempuh melalui hukum tiga tahap, yaitu [1] tahap teologis (ficticious), tahap metafisik (abstrak), dan tahap ilmiah (positif) [Zainuddin Maliki, Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik Surabaya: Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat, 2003, Cetakan Pertama, hal. 40]. Bandingkan dengan pembahasan pada buku yang ditulis oleh Abdul Aziz, MA, Esai-esai Sosiologi Agama, Jakarta: Diva Pustaka, 2004, bab III, hal- 45-69. Buku yang terakhir ini diedit oleh Dr. Mamat Slamet Burhanuddin, M.Ag. Pada beberapa waktu lalu, buku ini dikupas dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan ini juga merupakan resensi atas buku tersebut. 
5      F. Budi Hardiman, lock cit. hal. 89
6    Pembahasan lebih lanjut mengenai persoalan perubahan sosial bisa dilihat dari tulisan Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (History and Social Theory), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, Cetakan Pertama, h. 195-250
7    Louis Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi dan Konsolidasi Pembangunan [terjemahan dari buku: Beyond Empire and Revolution, Militerization and Consolidation in the Third World], Jakarta: Bina Aksara, 1985, Cetakan Pertama, h. 39
8           Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of Sociological Theory of Religion, Garden City NY: Doubleday & Co, 1967
9     Pembahasan lebih luas menyangkut konsep modernisasi bisa dibaca pada buku yang ditulis Giro Germani (ed.), Modernization, Urbanization, and the Urban Crisis, New Brunswick, NJ: Transaction Book, 1937
10   Dalam pandangan Anthony Giddens, globalisasi seperti yang kita alami sekarang ini, dalam banyak hal, tidak hanya baru, melainkan juga revolusioner. Bagi Giddens, globalisasi tidak saja berdimensi ekonomi, melainkan juga politik, tekhnologi dan budaya. Ia terjadi terutama sangat dipengaruhi oleh berbagai perkembangan sistem komunikasi yang baru dimulai pada akhir 1960-an, untuk pembahasan lebih lanjut mengenai topik tentang globalisasi, baca misalnya, Anthoni Giddens, Runway World: Bagaimana globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia, 2001, hal. 5; lihat juga tulisan Anthony Giddens, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial, Jakarta: Gramedia, 2000, cet. III, hal. 32-38
11     J. Sudarminta, “Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern“, dalam M. Sastrapratedja (ed.), Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1982, cetakan pertama, h. 123
12    Herbert Marcuse, One-Dimensional Man, London: 1964, h. 5
13    J. Sudarminta, loc. cit. h. 126-127

1 komentar: