Maraji’
TEKNOLOGI: AGAMA BARU MODERNITAS?
Sebuah Refleksi Kegetiran Atas Ancaman Kepunahan Agama
Rentetan panjang revolusi
politik yang berlangsung di Eropa, terutama sepanjang abad ke-19 dan awal abad
ke-20, telah memunculkan berbagai perubahan. Perubahan yang berlangsung bukan
hanya berdampak positif, tetapi juga sekaligus membawa perubahan negatif.
Revolusi politik, terutama yang berlangsung di Prancis disinyalir telah
menjungkirbalikkan tatanan masyarakat. Bahkan, konon tragedi ini bermuara pada
munculnnya kekacauan (chaos) tatanan masyarakat. Sebuah tatanan baru
yang menjanjikan masa depan, tetapi pada
saat yang bersamaan juga menyembunyikan kebobrokan sejarah-kemanusiaan yang
teramat menakutkan.
Revolusi Prancis dan Revolusi Industri, sebagai
kelanjutan dari zaman Pencerahan (Aufklärung), kemudian ditengarai
sebagai datangnya era baru yang menggantikan masa primitif—sebuah zaman yang
terlalu didominasi oleh akal-tradisional, mistik dan kepercayaan—menuju
modernitas. Seperti ditulis F. Budi Hardiman, semenjak Max Weber, modernisasi
dianggap sebagai proses rasionalisasi (rationa-lisierung).2 Persoalan ini juga yang dikupas oleh Adorno
dan Horkheimer dalam Dialektik of Aufklärung serta yang diulas oleh
Marcuse dalam One-Dimensional Man yang melukiskan bagaimana proses
rasionalisasi masyarakat bermuara ke dalam tragedi besar. Dalam kerangka
modernisasi, manusia mendewakan rasionalitasnya, sehingga manusia dianggap
mempunyai otonomi dan kebebasan. Akan tetapi, dengan pendewaan terhadap
rasionalitas tersebut, manusia dewasa ini justru terperangkap dalam jaringan
birokrasi yang impersonal dan kehilangan makna serta aspirasinya sebagai
makhluk bermartabat. Sehingga, rasionalitas yang semula kritis terhadap
mitos-mitos tradisional yang menteror manusia, pada gilirannya menjadi mitos
atau ideologi baru yang total dalam bentuk ilmu pengetahuan dan tekhnologi.3
Di era transisi semacam ini, pandangan dunia (weltanschauung,
world view) akan makna dunia-kehidupan (labenswelt) mengalami perubahan
yang begitu dramatis. Perubahan mulanya diawali dengan munculnya pembongkaran
besar-besaran terhadap pola fikir atau—meminjam istilah Thomas Kuhn—paradigma
yang berpijak pada sistem kepercayaan semacam agama, namun akhirnya mengalami
pergeseran ke arah rasionalisasi etis-kognitif yang sangat bercorak positivistik.4 Sehingga, fenomena ini bukan saja secara
spontan mampu merubah cara pandang dalam menilai dunianya (culture),
seperti nilai-nilai, estetika, dan etika, tetapi sebagai efek domino
dari itu adalah, dengan serta merta mampu merubah dunia kehidupan yang secara
real terjadi, yaitu dalam skala peradaban (civilization). Dalam
pandangan Hubermas, proses semacam ini terjadi karena berkem-bangnya kemampuan
rasionalisasi ke-budayaan (etis-kognitif) untuk diubah menjadi
rasionalisasi sosial kemasyara-katan. Dengan kata lain, pandangan dunia (world
view) yang sangat potensial untuk di-rasiona-lisasikan, mampu
diter-jemahkan ke dalam tindakan sosial.5
Pergeseran dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat
rasional pada gilirannya melahirkan rasionalisasi kehidupan sosial. Sehingga,
pergeseran tersebut menyebabkan terjadinya perombakan mendasar dalam berbagai
aspek kehidupan. Contoh yang paling kentara misalnya ditampilkan melalui
pengorganisasian (organizing) di dunia industri yang dilakukan secara
sistemik dan terrencana. Dalam hirarki sosial-tradisional, kelahiran dan
mobi-litas sosial relatif rendah. Sebaliknya, dalam hierarki sosial-modern,
kelahiran, prestasi (ascription) dan mobilitas sosial sangat tinggi.
Pada saat yang bersama-an, ‘estates’ (sistem tuan tanah, ‘lord’) telah
digantikan oleh masyarakat yang terdiri atas ‘kelas-kelas’, yang lebih be-sar
persamaan kesempatannya. Selain itu, dalam masyarakat tradisional, unit
dasarnya adalah kelompok kecil, di mana setiap orang saling kenal, yang oleh
Ferdinand Tönnies disebut ‘komunitas’ (gemeinschaft). Setelah terjadi
modernisasi (rasionalisasi), inti dasarnya adalah ‘masyarakat’ luas yang
impersonal (gesellchaft). Dalam bidang ekonomi, impersonalitas ini
terwujud dalam bentuk pasar atau menurut Adam Smith, ditandai dengan kuatnya
pengaruh ‘the invisible hand’. Sedangkan dalam konteks politik, gejala
imperso-nalitas ditampilkan melalui sebuah sistem yang oleh Weber disebut
dengan ‘birokrasi’.6 Sehingga, untuk dapat berperan dalam
masyarakat yang lebih luas, anggota masyarakat kemudian membentuk
perkumpulan-perkumpulan sukarela yang mempunyai tujuan-tujuan spesifik, seperti
profesi, klub, partai politik dan sebagainya.
Dalam sebuah kajian tentang perubahan masyarakat (social
transformation), Louis Irving Horowitz7 membedakan secara
kontras antara pengertian tradisional dengan modern. Menurut Horowitz,
tradisionalisme sekurang-kurangnya dicirikan oleh tiga indikator, yaitu: [1]
keterbelakangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Daniel Lerner dalam
penelitiannya, pengertian tradisi dihubungkan dengan keter-belakangan, yaitu
ditandai oleh komu-nikasi yang lambat dan parokialisme yang diukur dengan
terbatasnya lingkup kehidupan yang dijalani oleh orang-orang awam. Hal ini
misalnya dicirikan oleh keterbelakangan informasi dan ekologi. [2] Pengawetan
kesetiaan terhadap keyakinan agama, sehingga hal ini mempengaruhi kehidupan
sehari-hari dalam pengertian yang seluas-luasnya. Meskipun demikian, tradisi
agama sebetulnya tidak terlalu berkaitan dengan keterbelakangan. Bahkan,
menurut Peter Berger,8 keyakinan agama seringkali berfungsi sebagai
ideologi massa. [3] Indikator tradisio-nalisme ini memang terkait dengan
indikator-indikator sebelumnya, namun pada pada level ini tradisional lebih
dicirikan dari bentuk identifikasi yang tersendiri, misalnya terlihat dari
iden-tifikasi kebudayaan. Berbeda dengan pengertian tradisional tadi,
sebetulnya dalam pengertian yang lebih ketat, modernisasi yang bersifat
non-ideologis pada dasarnya lebih menunjuk pada suatu istilah tekhnologi,
terutama kaitannya dengan penggantian tenaga manusia oleh mesin-mesin.
Moder-nisasi berkaitan dengan komunikasi informasi dalam tempo cepat,
pemin-dahan orang dan jasa dengan cepat, otomasi jasa-jasa, dan sebagainya.
Tegasnya, modernisasi—sebagaimana pernah dicetuskan oleh Harold
Rosenberg—adalah sebuah tradisi baru yang mengacu pada urbanisasi, dan
pengikisan (dalam takaran tertentu) sifat-sifat pedesaan yang berlangsung pada
suatu masyarakat.9
Globalisasi dan Kamuflase Agama
Di tengah sistem sosial modern-rasional, bentuk
masyarakat secara perlahan (tapi pasti) menuju pada sebuah tatanan yang sama
sekali baru, yang kemudian mengejewantah dalam bentuk sistem global—kondisi ini
kemudian dikenal dengan istilah globalisasi.10 Dalam
pandangan Abdul Aziz, MA, meskipun globalisasi telah membawa berkah tersendiri,
berupa peluang membangun masyarakat sejahtera, terutama secara material, tetapi
secara bersamaan juga menyim-pan tantangan tersendiri, khususnya bagi
agama-agama “tradisi besar” (the great tradition), yaitu Yahudi, Kristen
dan Islam.
Penulis buku ini mencatat seku-rang-kurangnya dua bentuk
transfor-masi yang melatari munculnya peruba-han besar-besaran—untuk tidak
menga-takan revolusioner—yang melanda seluruh belahan dunia, yaitu: Pertama,
transformasi kapitalisme dari model tradisional yang bertumpu pada
perusahaan-perusahaan keluarga, ke model baru yang menakankan petingnya tenaga
profesional yang dibayar dan relatif independen, telah memungkinkan tumbuhnya
perusa-haan-perusahaan trans-nasional (Trans-National Coorporation,
TNC’s). Perubahan model kapitalisme ini yang dalam pandangan Clause Offe
disebut dengan disorganized capitalism, telah menggunakan TNC’s untuk
melakukan ekspansi pasar ke negara-negara bekas jajahan. Persebaran TNC’s yang
amat cepat, seiring dengan semakin intensnya pemanfaatan produk-produk
bertekh-nologi canggih di seluruh belahan dunia, membuat sistem perekonomian
nega-ra-negara bekas jajahan terintegrasi ke dalam sistem ekonomi global.
Akibat-nya, bukan hanya investasi dan modal asing saja yang masuk, melainkan
produk-produk yang dihasilkan oleh TNC’s juga membanjiri pasaran di
negara-negara pinggiran (pheriperal)—untuk tidak menyebut negara-negara
berkembang dan negara-negara miskin, seperti Indonesia.
Kedua, sebagai akibat memban-jirnya produk-produk
TNC’s ke berbagai negara bekas jajahan, pada akhirnya semakin mempercepat
transformasi kebudayaan. Konsumsi yang dilakukan oleh massa yang relatif sangat
luas terhadap produk-prduk yang dibuat secara massal, menyebabkan tercipta-nya
kebudayaan yang berskala global—sebuah wujud kebudayaan yang oleh Horkheimer
dan Adorno disebut dengan mass culture (kebudayaan massa). Kebudayaan
seperti ini ditandai dengan ketidakberdayaan massa untuk menolak konsumsi
berbagai produk baru yang dihasilkan oleh kemajuan tekhnologi. Makanya, Marcuse
menganggap masyarakat industri-modern sebagai masyarakat yang tidak sehat.
Sebuah masyarakat yang berdimensi satu, di mana segala segi kehidupannya
diarahkan pada satu tujuan, yakni keberlangsungan dan peningkatan sistem yang
telah ada, yang tidak lain adalah sistem kapitalisme.11 Akibatnya,
masyarakat kemudian terjebak oleh—apa yang istilahkan Herbert Marcuse—dengan “kebutuhan
semu,” yaitu semua kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing
individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya.12 Di mana, dalam memenuhi kebutuhan semu
tersebut, orang biasanya tidak tahu mengapa ia membutuhkannya. Dorongan untuk
membeli atau menggunakan tidak sungguh-sungguh timbul dari dalam dirinya
sendiri, melainkan hanya sekedar melihat orang lain berbuat begitu. Kondisi
seperti ini banyak disumbangkan oleh peranan media massa yang begitu massif
menampil-kan iklan produk-produk industri-modern. Dengan kata lain, media massa
melalui iklan-iklan yang ditayangkannya telah menjadi sarana yang paling ampuh
untuk merangsang dan membangkitkan kehausan selera masyarakat.
Dalam perkembangan lebih lanjut, fenomena ekonomi
konsumen dan politik kapitalisme yang semakin melembaga, pada gilirannya
menciptakan semacam ‘kodrat kedua’ dalam diri manusia yang mengikatnya secara libidinal
(dorongan nafsu) dan agresif pada barang-barang. Berbagai kebutuhan semu yang
telah di-’introyeksi’-kan—sebuah istilah yang dipakai Marcuse dalam arti: “dimasukkan
sedalam-dalamnya atau dibatinkan”—pada masing-masing individu sudah menjadi
kebutuhan ‘biologis’ (sebuah kebutuhan yang mesti dipenuhi, bila tidak maka
organisme akan sakit), bahkan menjadi bagian pokok kehidupan setiap individu.
Seakan-akan, hanya dengan membeli barang-barang itu (baca: hasil produksi
industri-modern-kapitalis), mereka dapat mewujudkan kehidupannya, sebab ketika
hal itu tidak terpenuhi akan mengakibatkan mereka merasa frustasi.13
Pada tataran lain, globalisasi—seperti disinggung di
muka—bukan saja berproses pada massifnya lalu-lintas pertukaran dan peredaran
uang melalui sistem pasar bebas (free trade market) dalam kerangka
perekonomian dunia yang ditandai membanjirnya produk-produk bertekhnologi
canggih yang dihasilkan industri negara-negara maju ke seluruh belahan dunia,
melainkan juga berpenetrasi (baca: mengalami perembesan) pada ranah politik,
dan bahkan sampai pada aspek budaya dan sistem kepercayaan, termasuk agama.
Sehingga dalam skala global, “agama-agama tradisi besar”, seperti Islam dan
Kristen yang nota bene merupakan salah-satu ranah kehidupan masya-rakat,
praktis dihadapkan dengan tantangan—kalau bukan ancaman—kepunahan di masa
depan.
Dalam memahami agama, Abdul Aziz nampaknya mengikuti
pendekatan Robert N. Bellah dalam kajian studi agama. Bagi Bellah, agama
merupakan seperangkat bentuk-bentuk simbolik dan tindakan-tindakan yang
menghubungkan manusia dengan kondisi-kondisi puncak dari keberada-annya. Agama
kemudian lebih dilihat dari proses simbolisasi yang mengha-dirkan terang
hubungan manusia dengan kondisi puncak eksistensinya. Selanjutnya, Bellah
mengkaji tentang tahapan-tahapan agama ke arah penyempurnaan—kalau bisa
dikatakan demikian—menuju ekspresi simbolik yang paling mewakili kondisi
zamannya. Tahap-tahap perkembangan agama, seperti analisis Bellah, mengikuti
lima tahapan, yaitu mulai dari agama primitif, agama kuno (archaic religion),
agama historis (the great tradition), agama awal modern (early modern
religion), dan terakhir tahap agama modern. Pada tahapan agama terakhir
inilah, Bellah mengalami kesulitan untuk merumus-kan sistem simbol agama
modern. Hanya saja, dalam kaitannya dengan agama modern, Bellah menegaskan,
bahwa manusia modern tidaklah identik dengan sekuler, materialistik dan
dehumanis. Tumbuhnya model ekspresi simbolik agama pada taraf modern, misalnya
dibuktikan dengan munculnya gagasan yang dimotori Tillich tentang naturalisme
ekstatik (acstatic natura-lism) atau pemikiran Benhoefer mengenai
ke-Kristenan tanpa agama (religionless Christianity) (h. 126). Di sini
terlihat jelas, betapa pada taraf modern agama mengalami kekaburan (kamu-flase)
dalam menerjemahkan ekspresi simboliknya yang paling genuine (asli,
sejati). Dengan demikian, tantangan keagamaan pada era globalisasi akan mengacu
pada proses pencarian simbol-simbol keagamaan baru yang relevan dengan situasi
sosial baru yang dihadapi manusia.
Di samping itu, dalam panda-ngan Comte, tumbuhnya
keaneka-ragaman pembagian kerja (division of labor) pada masyarakat yang
kompleks (modern), berdampak pada terjadinya konflik dan disintegrasi. Hal ini
terutama disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan, kepercayaan dan
nilai-nilai yang semakin meningkat di tengah masyarakat. Sehingga, kondisi
demi-kian hanya bisa diatasi melalui penciptaan suatu agama baru (pseudo-religion)
yang bersumber dari ilmu pengetahuan, yang kemudian akan membentuk landasan
bagi kesepakatan sosial baru (Cohen, 1968: 224; Coser, 1977: 7) (h 49). Pada
taraf inilah, gagasan mengenai agama yang di-munculkan oleh Durkheim menemukan
momentumnya. Dalam
konteks ini, agama lebih menekankan pada peran-peran sosial dalam memenuhi
kebutuhan integrasi dan kohesi sosial. Lebih jauh lagi, bagi Durkheim agama
bukan hanya sebuah penciptaan sosial, melainkan cermin pengagungan masyarakat
oleh masyarakat. Dengan kata lain, “tuhan” yang disembah sebenarnya adalah
proyeksi kekuatan masyarakat itu sendiri yang ditran-sendensikan, sehingga
agama kemu-dian berubah sesuai dengan perkemba-ngan dan kebutuhan masyarakat.
Makanya, hilangnya agama tradisional tidak kemudian membawa disintegrasi
masyarakat. Sehingga, ketika masyarakat modern terlampau mem-percayai
produk-produk tekhnologi ketimbang sistem ajaran agama, maka pada taraf inilah
posisi agama sangat dimungkinkan akan tergantikan oleh—apa yang dikenal dalam
masyarakat modern dengan—’tekhnologi’. Sehing-ga, tanpa disadari tekhnologi
bisa saja akan menjadi agama baru di tengah modernitas. Kemungkinan itupun
semakin kuat seiring dengan menguat-nya perasaan ketergantungan manusia-manusia
modern, menuju ketergantu-ngan total pada produk-produk tekhnologi.
Ritual-ritual keagamaan yang dulu terpelihara dalam agama tradisi besar atau
historis, lambat laun telah tergantikan oleh aktivisme yang pekat dengan aroma
tekhnologis. Dalam komunitas Islam misalnya, shalat yang seharusnya dilakukan
lima kali dalam satu hari satu malam (baca: shalat fardhu), kini tidak
jarang tergantikan oleh berbagai jenis kegemaran baru, seperti nonton televisi,
akses internet, atau mendengarkan ratusan koleksi lagu-lagu pilihan yang
termuat dalam MP-3. Sementara dalam komunitas Kristen, kebaktian yang biasanya
dilakukan pada hari minggu, seringkali terabaikan lantaran harus menjalani
agenda refresing di tempat-tempat wisata, nonton film di bioskop-bioskop
kenamaan, menyaksikan konser musik, mengunjungi super-market-supermarket yang
memberikan kenyamanan berbelanja, atau untuk sekedar mengunjungi butik-butik
yang menawarkan koleksi fashion terbaru.
Melalui
buku yang berjudul, “Esai-esai Sosiologi Agama”, Abdul Aziz, MA
nampaknya ingin mengi-ngatkan pembaca pada memori-memori sejarah (historical
memorized) yang membentuk kehidupan-dunia, seperti yang ditampilkan
sekarang ini. Memang, untuk ukuran buku yang setebal 280 halaman ini, penulis
nampaknya terlampau berambisi untuk mengupas seluruh persoalan-persoalan
sosiologis, terutama keterkaitannya dengan fenomena agama yang dalam perjalanan
sejarah telah mengawal setiap fase dari perkembangan masya-rakat. Kalau
diperhatikan, spektrum materi yang dibahas dalam buku ini terlalu luas, yaitu
mulai dari masalah paradigma (bab ke-1), sosiologi dan perubahan sosial (bab
ke-2, 3 dan 4), agama dan globalisasi
(bab ke-5 dan 6), masalah kerukunan agama (bab ke-7, 8, 9, dan 10), bahkan
sampai pada pembahasan tentang problem etika dalam penelitian sosial (bab
ke-11). Seperti diakui oleh penulisnya sendiri, bahwa luasnya ruang pembahasan
terutama karena buku ini merupakan kumpulan tulisan, baik dalam bentuk makalah
yang pernah disampaikan dalam berbagai kesempatan, maupun dalam bentuk artikel
yang dipublika-sikan dalam jurnal dan buku (baca: pengantar).
Buku
ini memang tidak menyajikan sesuatu yang terlalu baru dalam kajian sosiologi
agama. Meski demikian, menariknya buku ini seolah memancarkan semangat yang
begitu menggebu-gebu, sekaligus juga mengajak pembaca untuk merasakan kegetiran
ketika menyaksikan fenomena religiositas mutakhir dalam lanskap sosiologis,
terlebih ketika disandingkan dengan realitas globalisasi. Akhirnya, tanpa
sedikitpun berpretensi melakukan penilaian, dengan kelebihan sekaligus
kekurangan yang terdapat di dalamnya, buku ini setidaknya akan memperkaya
wawasan para pembacanya, terutama untuk menjelajah medan makna di tengah pelik-pelik sosiologi
agama, hingga pada taraf perkembangannya yang paling mutakhir.
Catatan
Akhir
1 Pelbagai
rentetan sejarah panjang ini pada awalnya dihantarkan oleh Revolusi Prancis
tahun 1789 di bidang politik, tetapi selanjutnya hal itu memicu
perubahan-perubahan besar lainnya yang secara umum mempengaruhi kehidupan
masyarakat Eropa ketika itu, misalnya terlihat dari pecahnya revolusi industri.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman mencatat, bahwa revolusi industri bukanlah
kejadian tunggal, tetapi merupakan berbagai perkembangan yang saling berkaitan
yang berpuncak pada transformasi dunia Barat dari corak sistem pertanian
menjadi sistem industri [George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori
Sosiologi Modern [Modern Sociological Theory], Jakarta: Kencana, 2004, Cetakan Pertama, hal.
7].
2 Konsep
rasionalitas menurut Weber tidak khas dimiliki oleh manusia Barat, melainkan
merupakan ciri yang melekat pada modernitas itu sendiri. Sebab, dalam
masyarakat tradisional, konsep rasionalisasi belum berkembang, sehingga
rasionalisasi dalam masyarakat juga tidak mempengaruhi tindakan sosial.
Artinya, pada masyarakat tradisional, masyarakat tidak mengenal rasionalitas
tindakan, tetapi yang ada adalah tindakan tradisional. Perubahan masyarakat
tradisional menjadi masyarakat modern, dengan demikian menandai berprosesnya
konsep rasionalitas dalam mempengaruhi tingkah-laku sosial. Konsep
rasionalitas dipergunakan oleh Weber dalam berbagai konteks, seperti segi-segi
tindakan tertentu, keputusan, dan pandangan-dunia sistematis. Weber membagi
rasionalitas menjadi dua, yaitu [1] “rasionalitas-tujuan” atau rasionalitas instrumental”
(zweckrationalität), yaitu sebuah tindakan yang mengacu pada perhitungan
yang masuk akal untuk mencapai sasaran-sasaran berdasarkan pilihan-pilihan yang
masuk akal dan dengan sarana-sarana yang efisien serta mengacu pada perumusan
nilai-nilai tertinggi yang mengarahkan tindakan dan orientasi-orientasi yang
terrencana secara konsisten dari pencapaian nilai-nilai tersebut. Ia bercirikan
formal, sebab orang yang bekerja dengan rasionalitas ini hanya mementingkan
cara-cara mencapai tujuan, tetapi tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati
sebagai isi kesadaran. [2] “Rasionalitas-nilai” (wertrationalität), yaitu
kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis, dan relijius. Pembahasan lebih jau
menyangkut rasionalisasi bisa dibaca pada tulusan F. Budi Hardiman, Menuju
Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut
Jürgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 1993, bab ke-5, hal. 73-100
3 F. Budi
Hardiman, ibid, hal. 74
4 Dalam pandangan Auguste Comte (1798-1857),
seorang tokoh yang dikenal dengan bapak sosiologi (the founding father of
sosiology), bahwa masyarakat mengalami evolusi yang panjang. Evolusi menuju
tertib sosial baru, ditempuh melalui hukum tiga tahap, yaitu [1] tahap teologis
(ficticious), tahap metafisik (abstrak), dan tahap ilmiah
(positif) [Zainuddin Maliki, Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik Surabaya: Lembaga
Pengkajian Agama dan Masyarakat, 2003, Cetakan Pertama, hal. 40]. Bandingkan
dengan pembahasan pada buku yang ditulis oleh Abdul Aziz,
MA, Esai-esai Sosiologi Agama, Jakarta: Diva Pustaka,
2004, bab III, hal- 45-69. Buku yang terakhir ini diedit oleh Dr. Mamat Slamet
Burhanuddin, M.Ag. Pada beberapa waktu lalu, buku ini dikupas dalam sebuah
seminar yang diselenggarakan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan ini
juga merupakan resensi atas buku tersebut.
5 F. Budi Hardiman, lock cit. hal.
89
6 Pembahasan
lebih lanjut mengenai persoalan perubahan sosial bisa dilihat dari tulisan
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (History and Social Theory),
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, Cetakan Pertama, h. 195-250
7 Louis
Irving Horowitz, Revolusi, Militerisasi dan Konsolidasi Pembangunan
[terjemahan dari buku: Beyond Empire and Revolution, Militerization and
Consolidation in the Third World], Jakarta: Bina Aksara, 1985, Cetakan
Pertama, h. 39
8 Peter
L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of Sociological Theory of Religion,
Garden City NY: Doubleday & Co, 1967
9 Pembahasan
lebih luas menyangkut konsep modernisasi bisa dibaca pada buku yang ditulis
Giro Germani (ed.), Modernization, Urbanization, and the Urban Crisis,
New Brunswick, NJ: Transaction Book, 1937
10 Dalam pandangan Anthony Giddens, globalisasi
seperti yang kita alami sekarang ini, dalam banyak hal, tidak hanya baru,
melainkan juga revolusioner. Bagi Giddens, globalisasi tidak saja
berdimensi ekonomi, melainkan juga politik, tekhnologi dan budaya. Ia terjadi
terutama sangat dipengaruhi oleh berbagai perkembangan sistem komunikasi yang
baru dimulai pada akhir 1960-an, untuk pembahasan lebih lanjut mengenai topik
tentang globalisasi, baca misalnya, Anthoni Giddens, Runway World: Bagaimana
globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia, 2001, hal. 5; lihat
juga tulisan Anthony Giddens, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaharuan
Demokrasi Sosial, Jakarta: Gramedia, 2000, cet. III, hal. 32-38
11 J. Sudarminta, “Kritik Marcuse terhadap
Masyarakat Industri Modern“, dalam M. Sastrapratedja (ed.), Manusia
Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1982,
cetakan pertama, h. 123
12 Herbert
Marcuse, One-Dimensional Man, London:
1964, h. 5
13 J. Sudarminta, loc. cit. h. 126-127
nice info kak sangat bermanfaat
BalasHapusharga mobil lcgc bekas