Ma’rifat
REORIENTASI
PENDIDIKAN PESANTREN:
MEMBANGUN
KECAKAPAN HIDUP
Pendahuluan
Perkembangan pendidikan di Indonesia memang belum menggembirakan, mengingat
dari berbagai segi masih ketinggalan dari negara-negara maju, bahkan dari ASEAN
sekalipun. Beberapa penelitian memperlihatkan, bahwa peringkat kualitas siswa
di negeri kita masih jauh dari memuaskan, karena masih di bawah kulitas siswa
dari negeri seperti Malaysia dan Thailand. Dalam hal daya saing, atau kesiapan
kualitas individual dalam menyongsong masa depan, anak sekolah di negeri kita
juga masih di bawah anak-nak sekolah negara tetangga tadi.
Upaya ke arah peningkatan kualitas memang banyak dilakukan, baik melalui
program pemerintah maupun program individual sekolah (madrasah). Di beberapa
sekolah (madrasah) telah banyak dilakukan program peningkatan kualitas guru
atau kemampuan siswa agar mereka dapat menyerap hasil belajar mereka dengan
maksimal. Akan tetapi, masalah pendidikan memang bukan hanya itu, sebab yang cukup
penting juga adalah masih belum terserapnya semua anak usia belajar ke dalam
proses pendidikan yang ada. Oleh karena itu, meski pendidikan kita secara umum
telah meningkat dan mengalami kemajuan, tetapi di berbagai daerah masih
ditemukan buta huruf (latin). Selain itu, mereka yang berhasil mengenyam
pendidikan pun masih mendapatkan atau menghadapi masalah lain ketika mereka
berhasil menyelesaikan pendidikannya. Masalah ini terutama terkait dengan
lapangan kerja yang terbatas. Data BPS tahun 2001 menunjukkan, bahwa dari 1,5
(satu setengah) juta lulusan SLTA dan PT pencari kerja dalam setiap tahun,
hanya sekitar 1/3 (sepertiga) yang bisa terserap ke dalam pasar kerja yang ada.
Tak heran, bila sekarang (tahun 2004), menurut BPS—sebagaimana banyak dikutip oleh
sejumlah media—terdapat sekitar 38 juta "pengangguran".
Masalah lain yang berkaitan dengan pendidikan kita adalah signifikannya
jumlah siswa yang mengalami drop-out. Rendahnya prosentase anak
Indonesia yang berhasil maju dan lulus ke universitas, bila dibandingkan dengan
jumlah mereka ketika mendaftarkan diri pada jenjang pendidikan dasar.
Pengembangan Life-Skill
Globalisasi telah membawa banyak dampak (impact) yang tak
terhindarkan bagi umat manusia di berbagai penjuru dunia. Di bidang pendidikan,
dengan terbukanya jaringan komunikasi melalui IT (information technology),
globalisasi bukan hanya sanggup menginformasikan berbagai kemajuan ilmu
pengetahuan, tetapi sekaligus juga menginformasikan ketertinggalan sebagian
manusia dari pengetahuan yang berkembang.
Selain menghadirkan pengetahuan-pengetahuan baru, globalisasi telah membuat
membanjirnya pengetahuan yang tidak mungkin setiap orang menyerapnya. Berbagai
ilmu pengetahuan telah berkembang sedemikian rupa, sehingga spesialisasi di
berbagai bidang tak terhindarkan. Sebab, dalam dunia yang mengglobal ini, yang
diperlukan oleh manusia atau individu bukan hanya banyaknya pengetahuan, tetapi
juga kedalaman pengetahuan yang dimiliki. Karena itulah, kemudian lahir ahli
berbagai ilmu yang secara khusus mendalami dan menguasai ilmu tertentu secara
spesifik.
Di kalangan umat manusia, penghargaan terhadap pendidikan memang cukup
besar, seperti terlihat dari penghargaan kita terhadap orang yang berilmu.
Mencari ilmu telah dipahami sebagai keharusan agama, seperti ungkapan sebuah
hadis: "Carilah ilmu meskipun sampai di negeri (yang jauh, seperti)
Cina" atau "Carilah ilmu sejak dari ayunan sampai masuk liang
lahat." Demikian sebuah hadis yang diyakini kebenarannya oleh umat
Islam. Dengan penghargaan ini, masyarakat kita mendirikan berbagai lembaga
pendidikan, mulai dari pesantren sampai perguruan tinggi non-agama.
Penghargaan demikian memang tidak terlepas dari pemahaman filosofis kita
tentang arti pendidikan sendiri. Kita paham betul, bahwa pendidikan adalah
proses pencerahan (enlightening). Pendidikan adalah proses pembudayaan
dengan membekali manusia dengan pengetahuan, mengasah pikirannya dan membentuk
kediriannya agar menjadi manusia yang diridhai Allah SWT. Dengan kata lain,
pendidikan adalah proses memanusiakan manusia agar menjadi makhluk yang
beradab.
Pendidikan dalam pengertian demikian memang menjadi pegangan kita semua.
Akan tetapi, dengan perkembangan yang ada, kita juga harus mempetimbangkan hal
lain. Perkembangan yang dimaksud adalah globalisasi, yaitu mendunianya
pergaulan dunia. Globalisasi bukan hanya terjadinya hubungan antar-manusia dari
berbagai belahan dunia atau negara makin terbuka, tetapi kita juga seolah
dipaksa untuk mengadopsi nilai-nilai atau norma yang dianggap universal dalam
berbagai bidang. Apa yang dimaksud dengan nilai universal tadi adalah adalah keterbukaan
dan kebebasan untuk berkompetisi. Dua hal ini telah diaktualisasikan
dengan dilahirkannya (diputuskannya) AFTA (Asean Free Trade Area) atau
APEC, yang keduanya berkaitan dengan kebebasan dalam bidang perdagangan. Hal
ini pada ujungnya akan memaksa kita untuk siap berkompetisi dengan
bangsa-bangsa lain dalam meraih kepentingan-kepentingan ekonomi—suatu bidang
atau merupakan bagian dari kehidupan kita. Ini artinya, globalisasi juga menuntut
kita untuk mempersiapkan diri sebagai bangsa yang berkualitas, cerdas, handal,
dan terampil. Karena, globalisasi bukan saja membuka pintu-pintu yang
sebelumnya tertutup, tetapi juga menyodorkan situasi yang cukup keras.
Kenyataan seperti itu pada akhirnya memaksa kita untuk mempersiapkan diri
dalam menghadapi kompetisi di era globalisasi. Dalam menghadapi situasi yang
seperti itu, kita memang tidak boleh pesimis, tetapi juga tidak boleh lupa,
bahwa bila dibandingkan dengan bangsa lain, bangsa kita masih mempunyai sumber
daya yang kurang mumpuni. Ini artinya, kita harus mulai dan berani merubah orientasi pendidikan kita.
Proses pengajaran jangan hanya ditekankan pada pemberian pengetahuan, tetapi
juga harus diarahkan pada bagaimana anak didik mempunyai bekal dalam menjalani
kehidupannya di kemudian hari. Karenanya, pendidikan jangan hanya sekedar untuk
mencerdasakan anak didik, tetapi juga harus diarahkan untuk membekali mereka
dengan keterampilan. Keterampilan dimaksud setidaknya untuk membekali anak
didik dengan pengetahuan praktis, yang bisa menjadi modal bagi mereka dalam
mengatasi kehidupan riil mereka. Dengan keterampilan ini, setidaknya anak
lulusan sekolah mempunyai pengetahuan dan kemampuan lebih. Dengan kemampuan
ini, mereka siap memasuki lapangan kerja yang memang memebutuhkan pengetahuan
dan keterampilan praktis. Karena itulah, perlu diperkenalkan apa yang disebut life
skill atau keterampilan hidup, yakni pengetahuan yang akan sanggup menopang
anak didik dalam menghadapi kehidupan nyata di masyarakat.
Apa itu Life-Skill?
Dalam pandangan awam, life skill atau kecakapan hidup sering
diartikan dengan keterampilan. Akan tetapi, dalam arti yang sebenarnya, konsep
ini lebih luas dari sekedar keterampilan. Life skill (kecakapan hidup)
adalah seperangkat pengetahuan yang secara praktis dapat membekali anak didik
(baca: anggota masyarakat) dalam mengatasi berbagai macam persoalan
kehidupannya. Life skill menyangkut aspek pengetahuan sekaligus
keterampilan, termasuk sikap yang di dalamnya kebijaksanaan (wisdom).
Dalam mempraktikkan ilmunya, seseorang bisa mengetahui apa kegunaan ilmu
tersebut dan bagaimana mengaplikasikannya. Selain itu, siswa juga mengetahui
rambu-rambu etika, misalnya ketika ilmu tersebut tidak boleh dipraktikkan atau
suatu tingkah laku tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan norma yang
berlaku. Oleh karena itu, life skill di samping menyengkut aspek
pengetahuan dan keterampilan (vocational), juga berkaitan dengan
pembangunan atau pengembangan akhlak.
Dalam konsep awal, kecakapan hidup (life skill) dapat dipilah
menjadi lima, yaitu: [1] kecakapan mengenai diri (self awarness) atau
disebut juga dengan kemampuan personal (personal skill); [2] kecakapan
berfikir rasional (thinking skill); [3] kecakapan sosial (social
skill); kecakapan akademik (academic skill); dan kecakapan
vokasional (vocational skill).
Kecakapan mengenai diri (self awarness) atau kecakapan personal (personal
skill) mencakup: [1] penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa,
anggota masyarakat dan warga negara. Dengan modal kecakapan ini, seseorang bisa
mengetahui dan menyadari perannya sebagai makhluk Tuhan, di samping pada saat
yang bersamaan juga mampu menempatkan diri dalam memainkan fungsi dirinya
sebagai anggota masyarakat dan warga negara. [2] Kecakapan personal juga
berkaitan dengan potensi dan kekurangan yang dimilikinya.
Kecakapan berfikir adalah kemampuan untuk: [1] menggali informasi (information
searcing). Di sini, aspek keingintahuan (curiosity) harus
ditekankan, karena hal ini merupakan inti penggalian ilmu pengetahuan. [2]
Kemampuan mengolah informasi dan mengambil keputusan (information processing
and decision making skill); dan [3] kecakapan memecahkan masalah secara
kreatif (creative problem solving skill).
Kecakapan sosial atau kecakapan interpersonal (social skill)
meliputi: [1] kecakapan komunikasi dengan empati (communication skill)
dan [2] kecakapan bekerja sama (collaboration skill). Di sini, empati,
sikap penuh pengertian dan seni komunikasi dua arah perlu ditekankan. Sebab,
yang dimaksud berkomunikasi bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi isi dan
sampainya pesan disertai dengan kesan baik, yang kemudian akan menumbuhkan
hubungan harmonis.
Bangsa Indonesia yang merupakan bagian integral dari masyarakat dunia yang
memiliki nilai religius. Sehingga, kecakapan hidup (life skill) di atas
dalam konteks bangsa Indonesia, harus ditambah satu lagi sebagai acuan, yaitu
akhlak. Artinya, kesadaran diri, berfikir rasional, hubungan interpersonal,
kecakapan akademik serta kecakapan vokasional harus dijiwai oleh akhlak mulia.
Dengan demikian, akhlak harus menjadi kendali setiap tindakan seseorang. Oleh
karena itu, kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan harus juga mampu mengembangkan
akhlak mulia. Di sinilah pentingnya pembentukan jati diri dan kepribadian (character
building), guna menumbuhkembangkan nilai-nilai etika-sosio-religius, yang
merupakan bagian integral dari pendidikan di semua jenjang dan jenis.
Kecakapan hidup yang bersifat khusus
(specific life skill, SLS) biasanya juga disebut dengan keterampilan
tekhnis (technical competences) yang terkait denga metode dan isi mata
pelajaran atau materi diklat tertentu. Seperti disebutkan di atas, SLS mencakup
kecakapan vokasional dan keterampilan yang terkait dengan pengembangan
akademik. Kecakapan akademik sering juga disebut dengan kemampuan berfikir
ilmiah (scientific methode), yang mencakup: [1] identifikasi variabel;
[2] merumuskan hipotesis; dan [3] melaksanakan penelitian. Di samping itu,
kecakapan vokasional juga sering disebut dengan keterampilan kejuruan, yaitu
keterampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di
masyarakat.
Barangkali perlu disadari, bahwa dalam kehidupan nyata, antara general
life skill (kecakapan mengenal diri, kecakapan berfikir rasional, kecakapan
sosial) dan spesific life skill (kecakapan akademik dan kecakapan
vokasional), tidak berfungsi secara terpisah, atau tidak terpisah secara
eksklusif. Justru yang terjadi adalah adanya peleburan berbagai kecakapan
tersebut yang menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek
fisik, mental, emosional, dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu
dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung
di atas.
Dalam menghadapi kehidupan di masyarakat juga akan selalu diperlukan general
life skill (GLS) dan specific life skill (SLS) yang sesuai dengan
masalahnya. Misalnya, untuk mengatasi masalah mobil yang sedang mogok, yang
diperlukan adalah vocational life skill (bagian dari SLS), khususnya
tentang mesin mobil dan juga GLS, yaitu tentang berfikir rasional, menganalisis
dan memecahkan masalah secara kreatif. Dengan kata lain, walaupun antara
kecakapan-kecakapan hidup tersebut dapat dipilah, tetapi dalam penggunaannya
selalu bersama-sama dan saling menunjang.
Kecakapan Hidup dalam Menata Pelajaran
Yang cukup penting dalam mengembangkan life skill adalah sederetan
program yang menunjang. Pertanyaannya, pelajaran apa saja yang harus
dikembangkan untuk membangun life skill di kalangan siswa? Apakah
pelajaranan yang diberikan adalah pelajaran khusus, yang lebih berkaitan dengan
kehidupan nyata, seperti keterampilan permontiran? Lalu, di mana tempat
pelajaran biasa yang secara reguler diberikan kepada siswa?
Memang harus disadarai, bahwa pengenalan life skill dimaksudkan
untuk membekali siswa dalam menghadapi kehidupan nyata mereka kelak. Karenanya,
mata pelajaran yang diajarkan harus berangkat dari kebutuhan riil yang
situasional. Dalam arti, pelajaran tersebut didasarkan pada kemungkinan
kebutuhan di masa depan, dengan melihat perkembangan yang ada di masa sekarang.
Mungkin untuk memahami ini, ada baiknya melihat gambar di bawah ini. Di
sana terlihat ada tiga komponan, yaitu: [1] kehidupan nyata, [2] life skill
yang dibutuhkan, dan [3] mata pelajaran yang harus mendukung didapatkannya life
skill yang dimaksud. Anak panah dengan garis putus-putus menunjukkan alur
rekaya kurikulum. Dari sini terlihat, bahwa identifikasi terhadap life skill
yang di butuhkan didasarkan pada kehidupan nyata yang berkembang di lingkungan
masyarakat. Kemudian ditentukan pengetahuan dan sikap apa yang akan mendukung
kecakapan hidup tersebut. Dengan begutu, bisa jadi kebutuhan mata pelajaran
antara satu komunitas berbeda dengan komunitas yang lain, karena situasi
tuntutan dan tantangan kehidupan yang berlaku di sana juga berbeda. Seperti
terlihat pada gambar, diharapkan mata pelajaran tersebut akan membentuk life
skill, yang diperlukan anak didik untuk menghadapi kehidupan masyarakat
ketika mereka telah menjadi anggota penuh masyarakat.
Gambar 2: Hubungan antara
Kehidupan nyata di Masyarakat,
life skill, dan mata
pelajaran
Dari pemahaman tersebut di atas, sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa mata
pelajaran atau mata (materi) diklat adalah alat. Sedangkan yang ingin dicapai
adalah pembentukan kecakapan hidup. Itulah yang diperlukan pada saat seseorang
memasuki kehidupan sebagai individu yang mandiri, maupun anggota masyarakat dan
warga negara. Kompetensi yang dicapai pada mata pelajaran atau mata diklat
hanyalah kompetensi antara untuk mewujudkan kemampuan nyata yang
diinginkan, yaitu kecakapan hidup (life skill atau life compenency).
Sebagai contoh, mempelajari matematika bukan sekedar untuk pandai matematika,
tetapi agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan keseharian, membaca data,
menganalisa data, mempelajari ilmu lain, dan seterusnya. Demikian pula mata
pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, bukan sekedar paham bahasanya,
tetapi mampu menggunakannya untuk bernalar, mengungkapkan dan menyampaikan buah
pikiran dalam bentuk komunikasi yang efektif. Mata pelajaran atau mata diktat
keagamaan, seperti kitab-kitab kuning, bukan sekedar untuk memahami prinsip dan
aturan keberagamaannya, tetapi lebih dari itu, yaitu mampu menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Inovasi pendidikan di negara maju kini mengarah pada pembentukan kecakapan
hidup (life skill). Model pembelajaran terpadu (integrated education)
dan pembelajaran kontekstual merupakan model pembelajaran yang mengarah pada
pembentukan kecakapan hidup. Model pendidikan realistik (realistic education)
yang kini sedang berkembang, juga merupakan upaya untuk mengatur agar
pendidikan sesuai dengan kebutuhan nyata peserta didik, agar hasilnya dapat
diterapkan guna memecahkan dan mengatasi problem hidup yang dihadapi. Pada
model-model pembelajaran tersebut, mata pelajaran atau mata diktat dipadukan
atau dikaitkan satu dengan yang lain, agar sesuai dengan kehidupan nyata di
masyarakat. Pembelajaran dikaitkan dengan konteks kehidupan anak didik, agar
memungkinkan anak belajar menerapkan isi mata pelajaran atau mata diktat dalam
berbagai problem yang dihadapi di tengah kehidupan keseharian. Walaupun dengan
istilah berbeda, kecakapan hidup (life skill) sedang dikembangkan di
negara maju.
Yang perlu diperhatikan adalah evaluasi hasil belajar. Pembelajaran yang
berorientasi pada kecakapan hidup, dengan pembelajaran kontekstual memerlukan
model evaluasi otentik (authentic evaluation), yaitu evaluasi dalam
bentuk perilaku peserta didik dalam menerapkan apa yang dipelajarinya dalam
kehidupan nyata. Paling tidak dalam bentuk shadow authentic, yaitu dalam
bentuk tugas proyek atau kegiatan untuk memecahkan masalah yang memang terjadi
di tengah masyarakat.
Penutup
Pendidikan pesantren yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, sangat cocok untuk menerapkan program pembelajaran yang
berorientasi atau berbasis life skill. Selain untuk menjawab tantangan
lapangan tenaga kerja yang meminta SDM yang memiliki corak keahlian atau
profesioalisme, juga untuk meminimalisir kecenderungan gejala reduksi atas
nilai amaliyah diniyah kita. Sebagaimana sering diungkapkan, bahwa tujuan
khusus pesantren adalah mempersiapkan para santri untuk menjadi orang 'alim dan
kelak dapat mengamalkannya dalam kehidupan masyarakat.
Kini,
pendidikan pesantren telah diatur dalam Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003,
walaupun implementasinya telah lebih dahulu dilakukan oleh Departemen Agama RI,
melalui pembentukan Direktorat Pendidikan Agama dan Pondok Pesantren.
Pemerintah kini sedang merancang desain besar kurikulum pesantren dan
pendidikan diniyyah pada umumnya. Salah satu tujuannya adalah untuk menghindari
terjadinya lulusan pesantren yang kurang mampu memanfaatkan ilmunya—yang bisa
jadi karena kurikulumnya tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Menurut
hemat penulis, dalam konteks sistem pendidikan integral, pesantren masih bisa
melanjutkan perannya seperti yang telah terjadi selama ini, yaitu
mengoptimalkan fungsi pre-service training kepada para santri yang
sering diasumsikan sebagai calon-calon tenaga kerja, atau fungsi re-training
bagi mereka yang sebelumnya sudah memiliki keterampilan dasar. Tentu saja
hal ini sangat memungkinkan, mengingat pesantren merupakan lembaga pendidikan
yang terbuka, di mana peserta didiknya datang dari berbagai latar belakang
sosial, ekonomi, bahkan umur yang berbeda. Jika demikian, ke depan pesantren
akan mampu memberdayakan potensinya untuk ikut serta mengarahkan dan
menggerakkan perubahan yang diinginkan dan mampu beradaptasi dengan
perkembangan zaman. Wallahu a'lmu bishshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar