SINERGI
MADRASAH & PONDOK PESANTREN:
Konsep Pengembangan & Peningkatan Mutu
Dewasa ini, arus perubahan tengah berjalan secara
linier, dengan mengikuti akselerasi kehidupan masyarakat yang berkembang
semakin maju. Kondisi demikian meniscayakan terbentuknya tata kehidupan sosial
dan struktur masyarakat modern, dengan ciri-ciri yang diidentifikasikan sebagai
antitesis terhadap masyarakat tradisional (conservative society). Tesis
Karl Popper yang mengkarakterisasi masyarakat modern dewasa ini sebagai
masyarakat terbuka (the open society), praktis mendapatkan pembenaran
dari realitas yang berkembang sekarang ini.
Transformasi sosial dan
derasanya arus globalisasi dengan segala karekteristiknya, membuktikan akurasi
penafsiran Popper atas kenyataan sosial mutakhir. Tegasnya, arus pemikiran dan
budaya mondial dengan segala ramifikasinya yang mewabah, telah
menjadikan masyarakat yang dahulu tertutup (eksklusif) menjadi sangat
terbuka, sehingga terkondisikan untuk siap menerima perubahan. Suatu kondisi
yang menantang, di mana titik persinggungan dan gesekan dinamika hidup semakin
tajam, di samping juga seringkali diwarnai dialektika dan benturan di antara
sistem nilai dan kultur yang berbeda. Maka, sebagai bagian dari sistem kehidupan
di Indonesia, sistem pendidikan pesantren pun tak luput menghadapi gelombang
perubahan yang mempengaruhi perkembangannya. Sehingga kondisi ini seolah
memaksa dunia pesantren untuk melakukan penyesuaian (adjaustment),
terutama dalam mengi-kuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Fenomena pergumulan tersebut
secara tidak langsung berimplikasi terhadap otoritas agama, ideologi dan
pendidikan. Pada level inilah, genealogi pendidikan di Indonesia tidak jarang
menghadapi polemik, perdebatan, bahkan proses transformasi, utamanya perdebatan
mengenai sistem pendidi-kan Islam yang direpresentasikan oleh pesantren dan
madrasah. Sehingga, dalam perjalanan sejarahnya, pendidi-kan pesantren dan
madrasah sering mengalami fluktuasi dan mengikuti ritme perubahan zaman.
Realitas perubahan itu menunjukkan, bahwa pemikiran yang mencitrakan pesantren
sebagai lembaga pendidikan yang anti-peru-bahan, eksklusif, konservatif,
tradisional ataupun tidak demokratis dan sebagai-nya, teramat jauh dari
kebenaran. Justru,
pesantren sesungguhnya memi-liki watak inklusif dan sangat konstruktif. Hal ini
dibuktikan dengan kebersaha-batannya dengan budaya dan tradisi lokal. Bahkan,
hal ini diyakini pelbagai pihak, bahwa justru nilai-nilai pesantren di
sepanjang sejarah telah memperko-koh fundamen kebangsaan. Sehingga, tidak
mengherankan pesantran kemu-dian menjadi ajang akulturasi kebudaya-an
antar-daerah. Inilah yang menurut penilaian Martin Van Bruinessen, bahwa
pesantren—demikian juga madrasah—merupakan institusi pendidikan yang mempunyai
keunggulan, baik dari sisi tradisi keilmuan—sebuah tradisi agung (the great
tradition)—maupun dari sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat
Islam.
Pesanteren dan Madrasah: Relasi
dan Integrasi
Pada dasarnya madrasah lahir dari proses
metamorposis sistem pendidikan pesantren. Makanya tidak heran, antara madrasah
dan pesantren memiliki visi dan misi yang tidak jauh berbeda. Bahkan, pada
tahapan tradi-sionalnya, kedua institusi pendidikan Islam ini memiliki peran
yang sama, yaitu: Pertama, sebagai pusat berlang-sungnya transmisi
ilmu-ilmu Islam tradisional (transmission of islamis knowledge). Kedua,
sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan tradisi Islam (maintanance of
islamic tradition); dan ketiga, sebagai pusat reproduksi ulama (reproduction
of ulama). Ketiga peran ini menunjukkan, betapa antara pesantren dan
madrasah telah berhasil mensinergikian dan mewariskan nilai-nilai budaya,
seperti nilai kebersaman, nilai kemandirian, dan nilai-nilai kejua-ngan dalam
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Kendati demikian, di samping beberapa
keunggulan dalam bentuk nilai-nilai, sebagaimana dikatakan oleh analis
pendidikan, nampaknya dua lembaga pendidikan ini, terutama madrasah juga
memiliki sejumlah kelemahan dan kendala yang cukup kompleks. Beberapa kendala
yang sampai saat ini di mash menggejala adalah: pertama, madrasah sering
dipandang telah kehilangan orientasi, bahkan telah terlepas dari akar
his-torisnya. Dengan kata lain, madrasah dipandang telah mengalami
keterputu-san sejarah (missing-link) dari sistem pendidikan pesantren
yang telah mela-hirkannya. Kedua, semakin ditemukan pemaknaan yang
ambigu terhadap madrasah. Di satu pihak, madrasah sering diidentikkan dengan
sekolah. Hal ini terutama karena madrasah memiliki muatan kurikulum yang
relatif sama dengan sekolah umum. Sedangkan pada pihak lain, madrasah
seringkali dipandang sebagai pesantren dengan sistem klasikal, yang kemudian
disebut dengan madrasah diniyah. Dengan demikian, sebagai sub-sistem
pendidi-kan nasional, madrasah belum memiliki identitas dan jati diri yang
mampu membedakan secara tegas dengan sistem pendidikan lainnya. Ketiga,
masalah klasik yang sering mendera madrasah adalah dualisme dalam bidang
manajerial, terutama yang sering terjadi pada lembaga pendidikan swasta. Sebab,
biasanya lembaga swasta memiliki dua top manajer, yaitu kepala madrasah dan
ketua yayasan (pengurus). Meski sudah ada wilayah pembagian kerja yang jelas di
antara keduanya, namun dalam prakteknya sering terjadi tumpang-tindih (over-lapping)
wewenang. Lebih kompleks lagi, ketika di antara pengurus yayasan tersebut, ada
yang menjadi staf pengajar pada madrasah itu juga. Sebetulnya masih banyak lagi
masalah-masalah yang dihadapi oleh madrasah, seperti pola manajerial dan
kepemimpinan yang relatif tradisional dan bercorak paternalistik, rendahnya
kualitas input, keterbatasan sarana-prasarana, pra-syarat eksternal
semacam akreditasi yang kaku dan seterusnya. Namun demikian, tidak bisa menutup
diri, bahwa ternyata banyak potensi berhar-ga lainnya yang ditemukan dalam
madrasah yang tidak dimiliki lembaga pendidikan lainnya.
Oleh karena itu, nampaknya upaya mencari
solusi yang tepat dalam peningkatan mutu pendidikan madra-sah adalah sesuatu
yang sangat penting dilakukan dalam waktu dekat ini. Salah satu potensi positif
yang dimiliki madrasah adalah karakteristiknya yang fleksibel, sehingga mudah
diadap-tasikan dalam suatu ekologi, utamanya di lingkungan pesantren. Selain
itu, berbagai kelemahan di atas dapat dijadi-kan sebagai starting point
dan standar untuk melakukan perbaikan, baik dari aspek manajemen maupun
kurikulum-nya, yang kemudian diakomodasikan secara akultural dengan kebutuhan
dan perkembngan masyarakat.
Sistem pengelolaan madrasah di pesantren
harus diarahkan menuju terciptanya out-comes dengan tingkat pencapaian
yang memadai, baik dari sisi kognitif, afektif, maupun psikomotor, dengan
tekanan pembinaan moral sebagai ciri khasnya. Substansi peruba-han kebijakan
madrasah dan sekolah yang mengkhususkan konsen-trasinya pada kajian agama (tafaqquh
fi ad-dîn) menjadi sekolah umum dengan karak-ter khusus agama Islam, adalah
dalam rangka mengarahkan, membimbing, membina, dan melahirkan out-put
pendidikan madrasah yang qualified, sanggup mengemban pandangan hidup (kognitif),
sikap hidup (afektif) dan vocational (psikomotor) dalam konteks
ke-Islaman, sehingga tercipta manusia Indonesia paripurna.
Pola Pengembangan dan Integrasi
Pada prinsipnya, proses kepen-didikan
termasuk di dalamnya pesan-tren dan madrasah, dalam praktek penyelenggaraannya
memiliki tiga dimesi. Ketiga proses ini harus berjalan secara simultan, yaitu
sebagai proses belajar, proses ekonomi, dan sebagai proses budaya. Sebagai
proses belajar, pendidikan harus mampu memproduksi kualitas individu dan
masyarakat yang relijius, dan secara personal diharapkan memiliki integritas,
kecerdasan dan keterampilan (vocational) serta keima-nan. Secara
ekonomi, pendidikan meru-pakan investasi jangka panjang, teru-tama dari sektor
penyiapan dan pening-katan kualitas SDM. Sedangkan dalam kapasitasnya sebagai
proses sosial-budaya, pendidikan menjalankan fungsi transmisi dan pemeliharaan
nilai-nilai budaya dan tradisi. Dengan demikian, suatu sistem budaya diharapkan
akan terus mempunyai sustainibilitas atau kesinambungannya dari satu
generasi ke generasi lainnya.
Sementara itu, proses pendidikan Islam yang
efektif haruslah mencermin-kan sandaran filosofis yang humanis, membawa misi
akademis, nilai-nilai, dan keluhuran moral Islami. Di mana, semua komponen
penyelenggaraan pendidikan di pesantren ataupun madrasah, seharusnya lebih
memper-lihatkan kecenderungan seperti ini, sehingga ke depan pendidikan Islam
be-nar-benar mempunyai relasi tanggung jawab terhadap keberlanjutan
penye-lenggaraan pendidikan Islam di Indo-nesia. Lebih dari itu, bagaimana
menja-dikan nilai-nilai tersebut mampu menji-wai proses penyelenggaraan
pendidikan, mulai dari aspek proses, lembaga, isi, sampai pada manajerialnya.
Upaya untuk menjadikan pesantren sebagai
pendikan terpadu—sebuah program pendidikan yang memuat dua sistem sekaligus, antara
sekolah dan madrasah—diawali dengan melakukan integrasi, baik secara kultural
maupun secara kelem-bagaan. Sebuah institusi pendidikan, termasuk pesantren dan
madrasah akan dikatakan efektif, manakala memiliki visi, misi, tujuan, sasaran,
program peningkatan mutu, dan menghasilkan alumni yang mempunyai kompetensi
yang memadai. Persolanan ini mestinya menjadi semacam tanggung jawab bersama di
kalangan para penyelenggara pendidikan. Sehingga, tanggung jawab peningkatan
mutu, misalnya, bukan sekedar agenda seorang kepala sekolah (madrasah), tetapi
menjadi agenda bersama semua komponen organisasi penyelenggara pendidikan
bersangkutan, bahkan juga segenap masyarakat. Oleh karena itu, untuk menjadi
pendidikan yang efektif dan berkualitas, pendidikan Islam memerlukan kematangan
berbagai komponen yang baru saja disebutkan. Lebih dari itu, yang lebih penting
lagi adalah pemahaman dan rasa tanggung jawab bersama semua penyelenggara
pendidikan tentang hal berbagai komponen tersebut. Hal ini akan menjadi penting dalam
rangka pelak-sanaan program secara terarah, tepat dan cepat.
Untuk menuju terciptanya pen-didikn terpadu
di lingkungan pesantren dan madrasah,
sebelumnya visi dan misi pendidikan harus berpijak pada filosofi dan
nilai dasar pesantren (madrasah) yang relevan dengan cita-cita dan ketentuan
prinsip-prinsip pendidikan Islam. Di mana, hal ini didasarkan pada ajaran
Islam, latar belakang historis, dan kondisi obyektif masyarakat muslim dalam
bingkai budaya multikultural bangsa Indonesia. Selanjutnya, pendidikan
pesantren dan madrasah hendaknya diletakkan dalam kerangka tujuan (ghayah)
hidup menurut panangan Islam, yaitu compatible dengan tujuan hidup
manusia menurut pandangan Islam. Sebab, pendidikan hanyalah instrumen yang
ditempuh agar tujuan hidup tercapai. Oleh karena itu, perumusan pendidikan
pesantren dan madrasah, identik dengan tujuan pendidikan Islam sendiri. Dalam
formulasinya harus memiliki keterpaduan, terutama berorientasi pada hakikat
pendidikan.
Persoalan yang juga penting dalam kaitannya
dengan integrasi madrasah dan pesantren, antara lain menyangkut beberapa
prinsip berikut, yaitu: masalah integrasi keilmuan (krisis konseptual),
integrasi kurikulum, integrasi sarana, integrasi manajemen dan lain-lain.
Pertama, problem integrasi keilmuan
atau sebagian analis menye-butnya dengan krisis konseptual. Persoalan ini
nampaknya terjadi juga di pesantren dan madrasah, terutama menyangkut
divesifikasi ilmu-ilmu umum dan Islam. Istilah ilmu-ilmu profan (duniawi)
seringkali dihadapkan secara konfrontatif dengan ilmu-ilmu agama yang dianggap
sakral. Akibat-nya, hal ini bukan hanya berimplikasi pada sisi keilmuannya
sendiri, melainkan juga berpengaruh pada tatanan kelembagaan. Sehingga pada
gilirnnya melahirkan krisis kelem-bagaan. Oleh karena itu, untuk mem-bangun
sinergi di antara keduanya, yang diperlukan adalah adanya rekons-truksi
keilmuan. Hal ini tentu saja bukan pekerjaan mudah, karena di samping
membutuhkan keberanian moral, juga keberanian intelektual.
Kedua, masalah kurikulum da-lam
konteks keterpaduan sistem pendidikan Islam. Isi atau materi kurikulum
pendidikan modern terang-kum dalam tiga ranah, yaitu ilmu pengetahuan (kognitif)
sikap atau nilai-nilai (afketif) dan keterampilan (psiko-motorik).
Sementara dalam konteks pendidikan Islam, di samping ketiga ranah di atas, yang
dianggap menjadi inti kurikulum dalam konsepsi Islam adalah bertumpu pada nilai
keimanan dan moral. Sehingga, isi kurikulum pendidikan modern, setelah
diadap-tasikan dengan konsepsi Islam, akan menjadikan kurikulum mendapat-kan spirit
atau semangat etik-transendental. Dengan demikian, pada saat yang
bersamaan ada semacam proses integrasi antara ilmu yang berorientasi duniawi
dengan ilmu-ilmu yang berorientasi ukhrawi. Sehingga secara psikologis hal ini
akan melahirkan kepribadian anak didik yang utuh (integrative personality),
atau tidak terlalu menonjolkan salah satu di antara orientasi dunia dan
orintasi akhirat. Sementara secara sosiologis, keterpa-duan kurikulum pada
saatnya nanti berdampak positif bagi terciptanya integrasi dalam kehidupan
masyarakat.
Ketiga, masalah inte-grasi sarana dan
prasarana. Sebagai pusat pembe-lajaran, pesantren atau madrasah dalam hal ini
dituntut menciptakan keselarasan antara lingkungan sekitar. Sehingga akan
tercipta situasi pembelajaran di kelas yang kondusif bagi pencapaian
pembelajaran. Dari sini kemudian, integrasi sarana dan prasarana adalah
bagaimana mebuat master plan mengenai tata ruang dan tata bangunan yang
teratur, sehat, dan sesuai dengan standar kesehatan dan kebersihan.
Selanjutnya, perlu terse-dianya kondisi fisik sarana bangunan yang meng-gunakan
peralatan modern memadai, di samping adanya aturan atau etika yang menjadi
pedoman dalam pengaturan sarana tersebut. Yang tidak kalah pentingnya adalah,
terse-dianya ruang perpustakaan yang memadai. Di mana, kehadiran perpus-takaan
tentu saja harus memberikan rasa aman dan nyaman serta memiliki daya tarik bagi
yang memanfaat-kannya. Sehingga, pesantren bukan hanya disegani karena
pularitas seorang kiyainya, tetapi juga karena kelengkapan literatur yang
terdapat pada perpustakaannya yang dapat dijadikan sebagai sumber bela-jar.
Persoalan lainnya yang masih berkaitan dengan sarana prasa-na adalah soal
pelemba-gaan pusat informasi. Kehadiran perpustakaan di pesantren memang dapat
dijadikan sebagai pusat infor-masi, tetapi yang lebih penting dalam hal ini
adalah ketersediaan SDM yang memadai, di samping juga dukungan kelengkapan
perangkat penunjang penyebaran informasi.
Keempat, integrasi manajemen. Manajemen
dibutuhkan oleh hampir semua oragnisasi. Karena tanpa mana-jemen, kegiatan
tidak akan dapat dilaksanakan secara terpola, tidak tera-tur, di samping
pencapaian tujuan juga akan lebih sulit dilakukan. Sekurang-kurangnya ada tiga
alasan kenapa manajemen dibutuhkan bagi pendidikan di pesantren, yaitu: [1]
untuk mencapai tujuan pendidikan yang diselenggara-kan di pesantren, [2] untuk
menjaga keseimbangan di antara tujuan-tujuan yang sering berseberangan dalam
proses pendidikan yang berlangsung di dalam pesantren, [3] untuk mencapai
efisiensi dan efektivitas dalam pengelo-laan pendidikan di pesantren.
Sistem manajemen pendidikan di pesantren atau
madrasah merupakan keterpaduan efektivitas dan produktivitas dalam rangka
pembinaan SDM yang berkualitas, beriman dan bertakwa. Oleh karena itu, paling
tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai persoalan manajemen
pesantren, yaitu: [1] menghindari segala rekayasa dan permainan di luar
kepentingan pendidikan, [2] menjadi lembaga yang terbuka (inklusif) dan
mampu keluar dari jebakan-jebakan dikotomis seperti yang selama ini terjadi,
seperti dalam masalah dikotomi keil-muan; [3] mengakomodasi berbagai kritik
yang sering dilancarkan oleh para stakeholders, sekaligus memberikan
ke-percayaan kepada mereka dalam mem-berikan partisipasi—kalau tidak keterli-batan
langsung mereka—terhadap penyelenggaraan madrasah; [4] menja-di institusi yang
responsif dan peka terhadap segala perubahan dan kebutu-han masyarakat,
terutama menyangkut dunia kerja. Di sinilah perlunya perhati-an dini untuk
mempersi-apkan lulusan pesantren atau madrasah agar mampu bersaing dalam
memasuki pasar dunia kerja yang sangat kompetitif.
Catatan Penutup
Memasuki Abad ke-21 ini, dunia pendidikan
pesantren menghadapi tantangan yang relatif semakin kom-peleks. Sebagai
institusi pendidikan Islam yang khas lokal, pesantren memi-liki sejumlah
keunggulan, sekaligus juga berbagai persoalan dan kelemahan yang menggurita di
dalamnya. Sehingga hal ini membutuhkan penyikapan yang arif dan terbuka,
terlebih dalam konteks mengadaptasikan diri dengan sistem dan budaya global
yang datang dari luar.
Resonansi arus reformasi pendi-dikan nasional
yang kencang dan ber-pengaruh terhadap pelbagai lini kehi-dupan, memang tidak
menggoyahkan sistem nilai pendidikan pesantren. Bah-kan dalam menghadapi
goncangan itu, pesantren bukan hanya mampu ber-tahan, melainkan juga mampu
meng-emban formulasi sitem pendidikan se-cara sistmatis, rasional, obyektif dan
Is-lami. Dari sini
kemudian diharapkan mampu menyentuh sisi perencanaan, proses, isi, organisasi,
kelembagaan, jenjang, manajemen dan seterus-nya.
Proses pembentukan sistem pendidikan pesantren dan
madrasah pada hakikatnya bukan hanya melibat-kan pengelola, namun di dalamnya
mengandaikan peran aktif atau keterli-batan masyarakat dan kebijakan
peme-rintah. Dengan kesadaran seperti ini, ke depan peningkatan hubungan
partisi-patif antara pihak pengelola pendidikan dengan stakeholders dan
pemerintah lebih dilakukan secara intens dan berkesinambungan. Dengan begitu,
diharapkan akan memperkuat surviva-litas pesantren di era globalisasi.
Hubu-ngan emosional antara pengelola pendi-dikan pesantren dengan stakeholders
dan rasa memiliki mereka tehadap lembaga akan semakin kuat, manakala adanya
keterbukaan pihak pesantren dalam menerima berbagai masukan dan setiap
keterlibatan masyarakat, dari mulai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, bahkan
dalam pelaksanaan program peningkatan mutu pen-didikannya.
Sebagai penutup, ada beberapa pointers yang menjadi
tawaran pada tulisan ini, yaitu: [1] Pembuatan strategi atau pendekatan yang
komprehensif, seperti dalam hal keterbukaan dalam memahami norma keagamaan di
pesantren, mempertahankan budaya pesantren yang baik, dan membuat skala
prioritas dalam merancang program; [2] pengembangan visi dan misi pendidikan
pesantren, baik dalam skala mikro maupun makro; [3] dilakukannya integrasi
antara tujuan pendidikan di pesantren dan madrasah, yaitu terciptanya SDM
muslim yang terampil, cerdas, ikhlas, mandiri dan utuh, baik dalam sikap maupun
tindakan. Mereka
itulah yang secara kompeten akan mengisi kebutuhan tenaga kerja dalam berbagia
sektor. Sementara di pihak lain, dengan berbagi karakteristik yang dimilikinya,
diharap-kan mereka akan dapat berperan dalam pengendalian sosial, terutama
dalam konteks kepemimpinan agama di tengah masyarakat (religious commu-nity
leader). Selanjutnya, pesantren juga diharapkan akan melahirkan
keterpadu-an kemampuan yang dimiliki anak didik (santri), yaitu sebagai seorang
muslim yang saleh dan sekaligus memiliki kemampuan intelektual yang memadai, di
samping penguasaan terhadap sains dan tekhnologi mumpuni. Inilah sosok lulusan
pesantren dan sekaligus warga negara ideal yang memiliki integritas dan
kapasitas, baik dalam melakukan analisis ilmiah, maupun concern-nya
dalam mengatasi problem kemanusian dan sosial-kemasyarakatan yang selalu
bermunculan di sepanjang waktu. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar