Senin, 08 September 2014

Pendidikan NU




Pendidikan NU Pasca Muktamar Ke-31 Solo

LIMA tahun silam, NU bermuktamar yang ke-30, tepatnya 21-26 Nopember 1999, di Lirboyo. Seperti muktamar-muktamar sebelumnya, hajat resmi organisasi muslim terbesar ini dilaksanakan di pesantren. Dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya, pengambilan lokasi muktamar di pesantren terasa lebih pas, karena Nahdlatul Ulama sendiri adalah “pesantren besar”.
Muktamar XXXI Nahdlatul Ulama, yang dilaksanakan tanggal 28 Nopember hingga 2 Desember 2004, di Asrama Haji Solo, mudah-mudahan berlangsung sukses, dapat memberikan pencerahan yang sesungguhnya pada masyarakat santri Indonesia. Walaupun tidak di pesantren, yang penting adalah menghadirkan nuansa dan tradisinya. Artinya, bagaimana muktamar dapat berjalan dengan cerdas, logis, santun dan apa adanya –khususnya saat membuat keputusan-keputusannya.

Memperjelas Arah
Perhelatan akbar lima tahunan warga nahdhiyyin tak pernah sepi dari pengamatan pakar dalam dan luar negeri. Cara pandang mereka menyemarakkan muktamar. Biasanya, eksistensi NU dikupas habis, dilihat dari masa lalunya, kini serta terawangan masa depannya. Ranah politik menjadi objek paling menarik, dan ranah lainnya terkesan dikesampingkan –termasuk bidang pendidikan.
Sebagi ormas non-politik (jam’iyyah diniyyah),  NU memiliki lembaga-lembaga yang langsung mengurusi keperluan konstituennya. Salah satunya adalah Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama, disingkat Maarif, sebuah lembaga yang memiliki fokus garapan bidang pendidikan. Sekitar 30 Pimpinan Wilayah dan 300 Pimpinan Cabang LP Maarif NU tersebar di seluruh Indonesia. Ditaksir sekitar 12 ribu madrasah dan sekolah “bernaung” dibawahnya. Di tambah perguruan tinggi, pesantren dan TK/RA. Sayangnya, keberadaan Maarif belum terekspose dengan optimal.
Ekspose yang proporsional, tentu saja,  akan berdampak baik. Kekurangan dan kelebihan Maarif perlu dibeberkan. Dengan kata lain, kita perlu memberanikan diri untuk mengupas problem yang dihadapi, menganalisisnya dan memetakan solusinya. Jadi perlu dideskripsikan, bagaimanakah proses pendidikan yang berlangsung dalam “sistem pendidikan Nahdlatul Ulama”? Apakah ia masih menjadi mata rantai pewaris nilai-nilai NU? Kemanakah pendidikan NU tersebut dibawa?  Bagaimanakah programnya?  Adakah grand design-nya?
Kemungkinan besar, pertanyaan di atas dibahas dalam muktamar ini. Cuma bisa ditebak, jawabannya bersifat makro. Hal-hal yang terkait langsung dengan pengembangan pendidikan NU tidak dirinci dengan tegas --misalnya, tentang peningkatan SDM yang concern di bidang pendidikan, perbaikan manajemen dan administrasi, penggalangan dana, penegasan visi, dan seterusnya. Oleh karena itu, pasca muktamar ke-31 Solo, Maarif (dan lembaga lain yang senafas) perlu menggelar forum yang representatif untuk secara intensif mengurai kebijakan pendidikan NU tersebut.
Dalam mengkonstruksi format kependidikan NU, kita dihadapkan dengan beberapa problem yang cukup serius, antara lain: (1) lemahnya visi kependidikan NU; (2) merosotnya peran institusional Maarif; (3) rendahnya partisipasi warga nahdhiyyin dalam pengembangan pendidikan; (4) tertinggalnya profesionalisme manajemen dan kepemimpinan lembaga-lembaga pendidikan NU; selain itu (5) tidak lahirnya gagasan-gagasan  inovatif untuk mengimbangi arus perubahan kebijakan pendidikan nasional.
Keseluruhan problem di atas, kendati sangat terkait dengan rendahnya mutu insan pendidikan NU, tetapi lebih dari itu karena jamiyyah ini tidak memiliki rencana strategis yang berjangka panjang untuk bidang pendidikan. NU memang belum menyusun konsep grand design pendidikan yang dapat dipedomani oleh para praktisi, penyelenggara dan pelaksana pendidikan. Kinerja pendidikan kita bisa kabur jika ukuran keberhasilan dan targetnya belum dipatok. Ibarat kapal berlayar, ia memerlukan kompas untuk menjangkau tujuannya.
Dalam kepentingan yang lebih luas, grand design pendidikan NU pun perlu dikenal secara luas oleh warga NU agar mereka dapat terlibat langsung dalam memajukan pendidikan yang ada di sekitarnya. Diseminasi informasi tersebut bahkan harus diupayakan dapat mengubah cara pandang masyarakat yang sekarang terlalu percaya pada politik, dan bersamaan dengan itu melemahkan upaya-upaya pemberdayaan dan pengembangan SDM. Bukankah peran besar NU sebetulnya dimulai dari pesantren, madrasah, masjid, majelis taklim, dan pendidikan diniyyah, yang telah melahirkan jutaan warga NU yang kini berpartisipasi dalam proses berbangsa dan bernegara?
Tampaknya, dibutuhkan terobosan atas konservatisme pendidikan NU ini, misalnya, (1) pengarusutamaan ide peningkatan mutu atau pemberdayaan  pendidikan dalam konstelasi internal NU; (2)  menawarkan paradigma baru pembelajaran, termasuk review kurikulum, proporsionalisasi guru dan siswa, aplikasi sistem evaluasi yang holistik, pembaruan manajemen kelas, dan sebagainya; (3) memperbaiki manajemen kelembagaan, dan; (4)  meningkatkan mutu sarana pendidikan.


Transisi Reformasi
Ancaman paling serius pendidikan NU adalah indikasi merosotnya kepercayaan masyarakat. Sewaktu-waktu warga nahdhiyyin akan meninggalkan, atau menitipkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan lain,   jika pendidikan NU tidak segera melakukan perubahan. Keprihatinan demikian, sering terungkap dalam berbagai pertemuan yang diselenggarakan Maarif di Jakarta sejak tahun-tahun reformasi.
Setelah UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 diberlakukan, tidak ada jalan lain bagi lembaga pendidikan NU kecuali menunjukkan keseriusan, keja keras dan melakukan terobosan-terobosan agar dapat meningkat mutunya, setidak-tidaknya setara dengan lembaga pendidikan yang sudah maju. Dalam UU tersebut, pendidikan swasta NU memiliki hak yang sama dalam memperoleh perlakukan pemerintah. Ide demokratisasi pendidikan ini telah menempatkan swasta ekvivalen dengan negeri. Selain itu, partisipasi masyarakat sangat diutamakan.       Lembaga pendidikan NU pada umumnya telah memiliki semangat mandiri sejak dari sononya. Maju mundurnya memang tidak tergantung pada pihak lain –termasuk pada pemerintah. Ketika terjadi perlakuan diskriminasi, pendidikan NU terus melangkah memperbaiki diri. Kondisi sekarang adalah gambaran akhir dari proses tersebut –yang menunjukkan masih adanya kekurangan dan ketidakpuasan. Kita semua mengetahuinya. Dalam konteks ini, agar pendidikan NU kedepan dapat memenuhi harapan semua pihak, keterlibatan NU secara resmi struktural sangat dibutuhkan –terutama posisinya sebagai penanggungjawab dan “lembaga kontrol” bagi kemajuan kependidikan NU yang tersebar di seluruh nusantara.
Dalam periode 1999-2004, telah dihasilkan beberapa pedoman penyelenggaraan pendidikan NU, seperti Pola Relasi Penyelenggara Pendidikan NU, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan NU, Peraturan-Peraturan Organisasi LP Maarif NU, dan Draft Kurikulum Aswaja dan Ke-NU-an,  yang belum tersosialisasikan secara luas. Apabila ke depan dilakukan kinerja yang sinergis pada seluruh komponen struktural NU, tidak hanya Maarif-nya saja, maka sektor pendidikan akan menjadi garapan utama, yang berarti menjadi “arus utama” Nahdlatul Ulama dari Pusat hingga ke daerah (ranting).
Untuk organisasi sebesar NU, fokus hanya satu sektor memang tidak mungkin. NU punya kewajiban untuk menjalankan aspirasi warganya yang beragam. Kendati begitu, sektor pendidikan dapat secara simultan dikemukakan dalam setiap peran kemasyarakatan NU. Maraknya dinamika pendidikan NU selama ini merupakan indikasi bahwa karakter genuine NU akan selalu muncul dalam era dominan politik sekalipun.
Dinamika tersebut, selain karena transisi politik nasional yang secara langsung melibatkan posisi dan  peran NU, juga kerana pada periode ini pemerintah Indonesia sedang melakukan “reformasi pendidikan nasional”. Pada beberapa bagiannya, NU mengambil peran signifikan. Misalnya, dalam penyelesaian UU Sisdiknas, perbincangan biaya pendidikan, badan hukum pendidikan (yayasan), desentralisasi madrasah, beberapa RPP bidang pendidikan (baik agama maupun umum), dan sebagainya. Nahdlatul Ulama juga memberikan respon dan tanggapan terhadap kebijakan pendidikan yang kurang aspiratif, seperti persyaratan rekruitmen guru negeri yang meminta wiyata bhakti hanya dari instansi negeri.
Akan tetapi,  “politik pendidikan yang (sekadar) partisipatif” demikian belum bisa mengakselerasi perbaikan kondisi pendidikan NU yang masalahnya tidak hanya pada tingkat kebijakan, melainkan lebih banyak pada tingkat aplikasinya. Sehingga, boleh jadi pendidikan NU terakomodasi di meja parlemen dan birokrasi tetapi tidak ada pengaruhnya bagi ribuan madrasah atau sekolah yang dikelolanya. Jadi, selain harus serius pada ranah ideal, peran NU lebih ditunggu lagi pada ranah pragmatisnya. Maka pembicaraanya adalah, bagaimana madrasah/sekolah mempunyai rasio guru dan siswa yang ideal, bagaimana mempunyai gedung dan sarana pendukungnya yang memadai, bagaimana memiliki buku-buku sumber belajar yang bermutu, bagaimana memiliki sumber keuangan yang tetap, dan sejenisnya. Permasalahan pendidikan NU sebetulnya ada di sini.
Pada beberapa daerah memang terdapat lembaga pendidikan yang relatif sudah berkembang. Madrasah/sekolah yang demikian, tidak lagi berkutat dengan kebutuhan sarana fisik, tetapi keinginannya lebih pada proses perbaikan manajemen pendidikan, kreatifitas pembelajarannya, profesionalisme dan mutu SDM, peningkatan kesejahteraannya, pencitraan madrasah/sekolah, perancangan masa depan lulusan, dan sejenisnya. Nah, bagaimanakah NU bisa memfasilitasi upaya perbaikan mutu ini?
Sebagai ormas nirlaba, kerja keras organisasi selalu dalam bingkai karitatif yang didominasi oleh rasa kedermawanan sosial. Basis nilai demikian sangat mulia. Akan tetapi paham “industri pendidikan” tidak perlu ditolak, karena aspek positifnya dalam mengembangkan leadership dan manajemen yang mendorong perbaikan pendidikan NU dalam segala aspeknya.



Penyetaraan Pesantren
Sebetulnya, reposisi pesantren telah dimulai. Kini pesantren, sejajar dengan sekolah, madrasah atau perguruan tinggi. Pesantren tidak lagi didiskriminasi menjadi institusi pendidikan tanpa masa depan. Sayangnya, hal ini masih di atas kertas sehingga masih terdengar adanya ketidakadilan terhadap lulusan pesantren.
Tidak ada institusi pendidikan yang sempurna, yang terbebas 100 % dari masalah. Sekolah, madrasah dan perguruan tinggi memiliki problem masing-masing. Cuma, jika diukur dari kerumitan masalah yang dihadapinya, tentu saja pesantren lebih serius. Karakternya yang “individual”, memastikan bahwa pesantren adalah milik pribadi yang  berkembang secara mandiri --walaupun  ada partisipasi masyarakat di dalamnya. Pesantren tumbuh dengan akar yang kuat, subur dan tersebar di mana-mana dengan keunikan masing-masing. Memang ada kategorisasi pesantren tradisional (salafi) dan modern (khalafi), tapi ini tidak dapat mewakili.
Eksistensi pesantren yang unik, membutuhkan kesabaran para eksekutif maupun legislatif dalam mengeluarkan kebijakan atau “formalisasi”. Peraturan yang berpretensi untuk mensistematisasi pesantren jangan sampai  justru mengusik pesantren dari kulturnya. Tampaknya sulit memenej pesantren berdasarkan target pemerintah saja, apalagi dengan cara memaksakan standart tertentu yang tidak menyerap keunikannya. Pesantren membutuhkan proses formalisasi, setidaknya jika formalisasi tersebut akan memberi manfaat yang lebih besar.
Berkaitan dengan itu, proses standarisasi pendidikan nasional sebaiknya mengakomodasi keunikan, kekhasan dan “multikulturalisme” pesantren sebagai subsistem pendidikan nasional, baik menyangkut model, metodologi, pola penyelenggaraan adminisrasi, materi dan sumber belajar, dan lain-lain.
Ada yang menarik, pasca euforia meyambut paradigma baru pendidikan nasional, di beberapa daerah justeru terdengar teriakan alumni pesantren NU yang gagal menembus “sistem pendidikan konsep sekolah”. Ijazah santri tersebut tidak diakui --walaupun masih untung tidak disebut memiliki ijazah palsu. Jadi bak tidak “bersekolah”, mereka tidak memiliki hak-hak lulusan suatu lembaga pendidikan.
Sebuah contoh, terjadi  pada Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. Ternyata lulusan pesantren yang beridiri pada awal abad-20 ini harus menerima nasib buruk karena tidak mau akomodatif pada konsep sekolah. Peristiwa naif ini merupakan indikasi macetnya sistem pendidikan nasional. Perlu solusi secara kasuistis agar tidak menjadi kekecewaan yang makin lama menjadi preseden dalam pengembangan pendidikan berbasis rakyat.       
Penyetaraan ijazah pesantren dengan madrasah yang setingkat sangat diperlukan. Dalam hal penyetaraan, nantinya lulusan pesantren adalah sama dan sebangun dengan lulusan madrasah atau sekolah tanpa harus mengikuti ujian persamaan. Memang membutuhkan banyak perubahan dan adaptasi dalam pesantren, setidak-tidaknya mengoptimalkan sinergitas pesantren dengan madrasah. Artinya, sekali lagi, perlu dibuat grand design pengembangan pendidikan NU agar seluruh aspek dan komponen pendidikan NU dapat diintegrasikan untuk memajukan umat.

Revisi Kurikulum
Revisi kurikulum 1983 mata pelajaran Ahlussunan Waljamaah dan Ke-NU-an adalah suatu keharusan. Sifatnya pun mendesak. Dalil kekenyalan kurikulum tampaknya sulit untuk membenarkan aktualitas substansi kurikulum yang telah berumur dua puluh tahunan. Perubahan politik, gejolak ekonomi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta reformasi sosial telah terjadi beruntun dalam kurun tersebut. Tanpa perubahan, kurikulum Aswaja dan Ke-NU-an hanya akan menjadi beban bagi siswa karena tidak memberi tambahan kognisi, afeksi maupun psikomotoris mereka.
Jika pengaruh ide, paham atau ajaran akan terlihat setelah 20 tahun, tampaknya perlu ada riset untuk membuktikan peran mata pelajaran ini. Dari yang tampak sekarang, keluaran sekolah/madrasah Maarif pada umumnya jadi agamawan, pekerja sosial (social workers) atau politisi. Terdapat mereka yang ahli dalam bidang-bidang umum, termasuk sains dan teknologi atau kaum profesional, tapi jumlahnya sedikit. Rupanya, sekolah/madrasah Maarif tidak memberikan bekal motivasi yang kuat untuk belajar ilmu-ilmu eksakta atau keterampilan. Selain itu diduga karena substansi kurikulum Aswaja dan Ke-NU-an 1983 bobotnya lebih pada “sejarah sosial politik NU”.
Agak ironis, belakangan ini muncul kaum profesional bidang keagamaan –maksud saya: mubaligh atau “pimpinan dzikir”— bukan dari keluaran sekolah/madrasah/pesantren NU. Orientasi penguasaan keterampilan (skill) memang tidak dominan dalam proses pembelajaran di lingkungan NU. Termasuk di dalamnya, millieu pembelajaran belum dikonstruksi untuk merangsang pengembangan potensi individual murid. Guru/Kyai/Ustad masih konsisten dengan tugasnya untuk mentransfer ilmu penetahuan, dari pada menggali kemampuan siswa.
Barangkali ada hal yang sama sekali tidak NU dalam lingkungan pendidikan NU, yaitu lemahnya pembiasaan dalam pendidikan akhlak al-karimah. Ada indikasi terjadinya reduksi sopan santun sebagai etos individu dan sosial. Terjadinya krisis moral (seperti sering disinyalir banyak kalangan) tidak bisa dilepaskan dari krisis akhlak warga NU. Bagaimana tidak, hampir 60 juta bangsa ini adalah warga nahdhiyyin. Sulit dibayangkan performance bangsa ini di kemudian hari jika NU tidak segera melakukan recovery moral secepatnya.
Berkenaan dengan itu, Maarif merencanakan merevisi kurikulum 1983 tersebut. Kita berharap, jangan sampai terjadi perubahan palsu. Fisiknya berubah, misalnya melalui penuangan dalam format kurikulum berbasis kompetensi, tetapi substansinya tetap yang lama. Membutuhkan perenungan yang intens dari tim perubahan agar kurikulum Aswaja dan Ke-NU-an dapat mendisain karakter warga NU kedepan yang lebih elegan, profesional dan mandiri, dengan tetap menonjol prinsip dan nilai-nilai ahlussunah wal jamaah-nya.

Pendidikan NU Ideal
Warga NU telah mulai rindu dengan NU yang cinta pendidikan. Jika pendidikan dipahami sebagai starting point rekayasa sosial kaum nahdhiyyin, maka gerakan-gerakan NU kedepan hendaknya merupakan proses pemberdayaan sumber daya manusia NU yang dapat membekali mereka untuk memahami eksistensi dirinya dalam tata sosial-kemasyarakatan Indonesia. Dengan kualitas pendidikan yang baik, akan tidak terlalu sulit untuk memperbaiki aspek-aspek kehidupan warga NU yang lainnya.
Dalam Muktamar NU ke-31 ini,  materi bidang pendidikan telah melingkupi aspek-aspek ideal dan aspek-aspek teknis perbaikan pendidikan NU. Muktamirin diharapkan dapat memberikan respons yang lebih progresif, terutama berkaitan dengan peletakan “sistem pendidikan NU” dalam posisi strategisnya di kancah pendidikan tingkat nasional dan global. Secara nasional, bagaimana pendidikan NU sejalan atau lebih maju dari cita-cita reformasi pendidikan; sedangkan di tingkat global semestinya cita-cita pendidikan NU tetap mendekati prinsip-prinsip education for all, excellent education, dan life long education.
Bagi NU sendiri, pendidikan merupakan upaya mengembangkan individu agar menjadi manusia yang dapat mengaktualkan potensi-potensi dirinya dan memiliki responsi sosial, yang mampu mengemban fungsi abdullah dan khalifatullah sekaligus. Oleh karena itu, diharapkan Maarif dapat mencetak insan muslim yang sehat jasmani, beriman, bertakwa, memiliki pengetahuan, keterampilan dan akhlakul karimah, yang dapat memberikan manfaat besar pada kemanusiaan, serta memiliki komitmen kerakyatan dan kebangsaan. Lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola Maarif hendaknya menjadi inspirasi bagi terwujudnya ukhuwwah nahdhiyah.
Ikhtiar kependidikan yang dilakukan tokoh-tokoh NU selama ini --pada semua jenis dan jenjang institusi NU-- perlu memperoleh apresiasi tinggi. Sebagai bagian dari masyarakat pendidikan NU, mereka telah melaksanakan tugas li i’lâi kalimatillâh  dengan ikhlas tanpa tanda jasa. Alangkah eloknya andaikan Muktamar kali ini dapat menganugerahkan award pendidikan kepada individu nahdhiyyin yang berhasil mengembangkan pendidikan dan mengharumkan NU. Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar