Pendidikan NU Pasca Muktamar Ke-31 Solo
LIMA tahun silam, NU bermuktamar yang ke-30, tepatnya
21-26 Nopember 1999, di Lirboyo. Seperti muktamar-muktamar sebelumnya, hajat
resmi organisasi muslim terbesar ini dilaksanakan di pesantren. Dengan berbagai
kekurangan dan kelebihannya, pengambilan lokasi muktamar di pesantren terasa
lebih pas, karena Nahdlatul Ulama sendiri adalah “pesantren besar”.
Muktamar XXXI Nahdlatul Ulama, yang dilaksanakan tanggal
28 Nopember hingga 2 Desember 2004, di Asrama Haji Solo, mudah-mudahan
berlangsung sukses, dapat memberikan pencerahan yang sesungguhnya pada
masyarakat santri Indonesia. Walaupun tidak di pesantren, yang penting adalah
menghadirkan nuansa dan tradisinya. Artinya, bagaimana muktamar dapat berjalan
dengan cerdas, logis, santun dan apa adanya –khususnya saat membuat
keputusan-keputusannya.
Memperjelas Arah
Perhelatan akbar lima tahunan warga nahdhiyyin tak pernah sepi dari pengamatan pakar dalam dan luar
negeri. Cara pandang mereka menyemarakkan muktamar. Biasanya, eksistensi NU
dikupas habis, dilihat dari masa lalunya, kini serta terawangan masa depannya.
Ranah politik menjadi objek paling menarik, dan ranah lainnya terkesan
dikesampingkan –termasuk bidang pendidikan.
Sebagi ormas non-politik (jam’iyyah diniyyah), NU
memiliki lembaga-lembaga yang langsung mengurusi keperluan konstituennya. Salah
satunya adalah Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama, disingkat Maarif,
sebuah lembaga yang memiliki fokus garapan bidang pendidikan. Sekitar 30
Pimpinan Wilayah dan 300 Pimpinan Cabang LP Maarif NU tersebar di seluruh
Indonesia. Ditaksir sekitar 12 ribu madrasah dan sekolah “bernaung” dibawahnya.
Di tambah perguruan tinggi, pesantren dan TK/RA. Sayangnya, keberadaan Maarif
belum terekspose dengan optimal.
Ekspose yang proporsional, tentu saja, akan berdampak baik. Kekurangan dan kelebihan Maarif perlu dibeberkan. Dengan kata lain, kita
perlu memberanikan diri untuk mengupas problem yang dihadapi, menganalisisnya
dan memetakan solusinya. Jadi perlu dideskripsikan, bagaimanakah proses
pendidikan yang berlangsung dalam “sistem pendidikan Nahdlatul Ulama”? Apakah
ia masih menjadi mata rantai pewaris nilai-nilai NU? Kemanakah pendidikan NU
tersebut dibawa? Bagaimanakah
programnya? Adakah grand design-nya?
Kemungkinan besar, pertanyaan di atas dibahas dalam
muktamar ini. Cuma bisa ditebak, jawabannya bersifat makro. Hal-hal yang
terkait langsung dengan pengembangan pendidikan NU tidak dirinci dengan tegas
--misalnya, tentang peningkatan SDM yang concern di bidang pendidikan,
perbaikan manajemen dan administrasi, penggalangan dana, penegasan visi, dan
seterusnya. Oleh karena itu, pasca muktamar ke-31 Solo, Maarif (dan lembaga
lain yang senafas) perlu menggelar forum yang representatif untuk secara
intensif mengurai kebijakan pendidikan NU tersebut.
Dalam mengkonstruksi format kependidikan NU, kita
dihadapkan dengan beberapa problem yang cukup serius, antara lain: (1) lemahnya
visi kependidikan NU; (2) merosotnya peran institusional Maarif; (3) rendahnya
partisipasi warga nahdhiyyin dalam
pengembangan pendidikan; (4) tertinggalnya profesionalisme manajemen dan
kepemimpinan lembaga-lembaga pendidikan NU; selain itu (5) tidak lahirnya
gagasan-gagasan inovatif untuk
mengimbangi arus perubahan kebijakan pendidikan nasional.
Keseluruhan problem di atas, kendati sangat terkait
dengan rendahnya mutu insan pendidikan NU, tetapi lebih dari itu karena jamiyyah ini tidak memiliki rencana
strategis yang berjangka panjang untuk bidang pendidikan. NU memang belum
menyusun konsep grand design pendidikan
yang dapat dipedomani oleh para praktisi, penyelenggara dan pelaksana
pendidikan. Kinerja pendidikan kita bisa kabur jika ukuran
keberhasilan dan targetnya belum dipatok. Ibarat kapal berlayar, ia memerlukan
kompas untuk menjangkau tujuannya.
Dalam kepentingan yang lebih luas, grand design pendidikan NU pun perlu dikenal secara luas oleh warga
NU agar mereka dapat terlibat langsung dalam memajukan pendidikan yang ada di
sekitarnya. Diseminasi informasi tersebut bahkan harus diupayakan dapat
mengubah cara pandang masyarakat yang sekarang terlalu percaya pada politik,
dan bersamaan dengan itu melemahkan upaya-upaya pemberdayaan dan pengembangan
SDM. Bukankah peran besar NU sebetulnya dimulai dari pesantren, madrasah,
masjid, majelis taklim, dan pendidikan diniyyah,
yang telah melahirkan jutaan warga NU yang kini berpartisipasi dalam proses
berbangsa dan bernegara?
Tampaknya, dibutuhkan terobosan atas konservatisme
pendidikan NU ini, misalnya, (1) pengarusutamaan ide peningkatan mutu atau
pemberdayaan pendidikan dalam konstelasi
internal NU; (2) menawarkan paradigma
baru pembelajaran, termasuk review kurikulum, proporsionalisasi guru dan siswa,
aplikasi sistem evaluasi yang holistik, pembaruan manajemen kelas, dan
sebagainya; (3) memperbaiki manajemen kelembagaan, dan; (4) meningkatkan mutu sarana pendidikan.
Transisi
Reformasi
Ancaman paling serius pendidikan NU adalah indikasi
merosotnya kepercayaan masyarakat. Sewaktu-waktu warga nahdhiyyin akan meninggalkan, atau menitipkan anak-anaknya ke
lembaga pendidikan lain, jika
pendidikan NU tidak segera melakukan perubahan. Keprihatinan demikian, sering
terungkap dalam berbagai pertemuan yang diselenggarakan Maarif di Jakarta sejak
tahun-tahun reformasi.
Setelah UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 diberlakukan,
tidak ada jalan lain bagi lembaga pendidikan NU kecuali menunjukkan keseriusan,
keja keras dan melakukan terobosan-terobosan agar dapat meningkat mutunya,
setidak-tidaknya setara dengan lembaga pendidikan yang sudah maju. Dalam UU
tersebut, pendidikan swasta NU memiliki hak yang sama dalam memperoleh
perlakukan pemerintah. Ide demokratisasi pendidikan
ini telah menempatkan swasta ekvivalen dengan negeri. Selain itu, partisipasi
masyarakat sangat diutamakan. Lembaga
pendidikan NU pada umumnya telah memiliki semangat mandiri sejak dari sononya.
Maju mundurnya memang tidak tergantung pada pihak lain –termasuk pada
pemerintah. Ketika terjadi perlakuan diskriminasi, pendidikan NU terus
melangkah memperbaiki diri. Kondisi sekarang adalah gambaran akhir dari proses
tersebut –yang menunjukkan masih adanya kekurangan dan ketidakpuasan. Kita
semua mengetahuinya. Dalam konteks ini, agar pendidikan NU kedepan dapat
memenuhi harapan semua pihak, keterlibatan NU secara resmi struktural sangat
dibutuhkan –terutama posisinya sebagai penanggungjawab dan “lembaga kontrol”
bagi kemajuan kependidikan NU yang tersebar di seluruh nusantara.
Dalam periode 1999-2004, telah dihasilkan beberapa
pedoman penyelenggaraan pendidikan NU, seperti Pola Relasi Penyelenggara
Pendidikan NU, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan NU, Peraturan-Peraturan
Organisasi LP Maarif NU, dan Draft Kurikulum Aswaja dan Ke-NU-an, yang belum tersosialisasikan secara luas.
Apabila ke depan dilakukan kinerja yang sinergis pada seluruh komponen
struktural NU, tidak hanya Maarif-nya saja, maka sektor pendidikan akan menjadi
garapan utama, yang berarti menjadi “arus utama” Nahdlatul Ulama dari Pusat
hingga ke daerah (ranting).
Untuk organisasi sebesar NU, fokus hanya satu sektor
memang tidak mungkin. NU punya kewajiban untuk menjalankan aspirasi warganya
yang beragam. Kendati begitu, sektor pendidikan dapat secara simultan
dikemukakan dalam setiap peran kemasyarakatan NU. Maraknya dinamika pendidikan
NU selama ini merupakan indikasi bahwa karakter genuine NU akan selalu muncul dalam era dominan politik sekalipun.
Dinamika tersebut, selain karena transisi politik
nasional yang secara langsung melibatkan posisi dan peran NU, juga kerana pada periode ini
pemerintah Indonesia sedang melakukan “reformasi pendidikan nasional”. Pada
beberapa bagiannya, NU mengambil peran signifikan. Misalnya, dalam penyelesaian
UU Sisdiknas, perbincangan biaya pendidikan, badan hukum pendidikan (yayasan),
desentralisasi madrasah, beberapa RPP bidang pendidikan (baik agama maupun
umum), dan sebagainya. Nahdlatul Ulama juga memberikan respon dan tanggapan
terhadap kebijakan pendidikan yang kurang aspiratif, seperti persyaratan
rekruitmen guru negeri yang meminta wiyata bhakti hanya dari instansi negeri.
Akan tetapi,
“politik pendidikan yang (sekadar) partisipatif” demikian belum bisa
mengakselerasi perbaikan kondisi pendidikan NU yang masalahnya tidak hanya pada
tingkat kebijakan, melainkan lebih banyak pada tingkat aplikasinya. Sehingga,
boleh jadi pendidikan NU terakomodasi di meja parlemen dan birokrasi tetapi
tidak ada pengaruhnya bagi ribuan madrasah atau sekolah yang dikelolanya. Jadi,
selain harus serius pada ranah ideal, peran NU lebih ditunggu lagi pada ranah
pragmatisnya. Maka pembicaraanya adalah, bagaimana madrasah/sekolah mempunyai
rasio guru dan siswa yang ideal, bagaimana mempunyai gedung dan sarana
pendukungnya yang memadai, bagaimana memiliki buku-buku sumber belajar yang
bermutu, bagaimana memiliki sumber keuangan yang tetap, dan sejenisnya.
Permasalahan pendidikan NU sebetulnya ada di sini.
Pada beberapa daerah memang terdapat lembaga pendidikan
yang relatif sudah berkembang. Madrasah/sekolah yang demikian, tidak lagi
berkutat dengan kebutuhan sarana fisik, tetapi keinginannya lebih pada proses
perbaikan manajemen pendidikan, kreatifitas pembelajarannya, profesionalisme
dan mutu SDM, peningkatan kesejahteraannya, pencitraan madrasah/sekolah,
perancangan masa depan lulusan, dan sejenisnya. Nah, bagaimanakah NU bisa
memfasilitasi upaya perbaikan mutu ini?
Sebagai ormas nirlaba, kerja keras organisasi selalu
dalam bingkai karitatif yang didominasi oleh rasa kedermawanan sosial. Basis
nilai demikian sangat mulia. Akan tetapi paham “industri pendidikan” tidak
perlu ditolak, karena aspek positifnya dalam mengembangkan leadership dan manajemen yang mendorong perbaikan pendidikan NU
dalam segala aspeknya.
Penyetaraan
Pesantren
Sebetulnya, reposisi pesantren telah dimulai. Kini
pesantren, sejajar dengan sekolah, madrasah atau perguruan tinggi. Pesantren
tidak lagi didiskriminasi menjadi institusi pendidikan tanpa masa depan.
Sayangnya, hal ini masih di atas kertas sehingga masih terdengar adanya
ketidakadilan terhadap lulusan pesantren.
Tidak ada institusi pendidikan yang sempurna, yang
terbebas 100 % dari masalah. Sekolah, madrasah dan perguruan tinggi memiliki
problem masing-masing. Cuma, jika diukur dari kerumitan masalah yang
dihadapinya, tentu saja pesantren lebih serius. Karakternya yang “individual”,
memastikan bahwa pesantren adalah milik pribadi yang berkembang secara mandiri --walaupun ada partisipasi masyarakat di dalamnya.
Pesantren tumbuh dengan akar yang kuat, subur dan tersebar di mana-mana dengan
keunikan masing-masing. Memang ada kategorisasi pesantren tradisional (salafi) dan modern (khalafi), tapi ini tidak dapat mewakili.
Eksistensi pesantren yang unik, membutuhkan kesabaran
para eksekutif maupun legislatif dalam mengeluarkan kebijakan atau
“formalisasi”. Peraturan yang berpretensi untuk mensistematisasi pesantren
jangan sampai justru mengusik pesantren
dari kulturnya. Tampaknya sulit memenej pesantren berdasarkan target pemerintah
saja, apalagi dengan cara memaksakan standart tertentu yang tidak menyerap
keunikannya. Pesantren membutuhkan proses formalisasi, setidaknya jika formalisasi
tersebut akan memberi manfaat yang lebih besar.
Berkaitan dengan itu, proses standarisasi pendidikan
nasional sebaiknya mengakomodasi keunikan, kekhasan dan “multikulturalisme”
pesantren sebagai subsistem pendidikan nasional, baik menyangkut model,
metodologi, pola penyelenggaraan adminisrasi, materi dan sumber belajar, dan
lain-lain.
Ada yang menarik, pasca euforia meyambut paradigma baru pendidikan nasional, di beberapa
daerah justeru terdengar teriakan alumni pesantren NU yang gagal menembus “sistem
pendidikan konsep sekolah”. Ijazah santri tersebut tidak diakui --walaupun
masih untung tidak disebut memiliki ijazah palsu. Jadi bak tidak “bersekolah”,
mereka tidak memiliki hak-hak lulusan suatu lembaga pendidikan.
Sebuah contoh, terjadi
pada Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. Ternyata lulusan
pesantren yang beridiri pada awal abad-20 ini harus menerima nasib buruk karena
tidak mau akomodatif pada konsep sekolah. Peristiwa naif ini merupakan indikasi
macetnya sistem pendidikan nasional. Perlu solusi secara kasuistis agar tidak
menjadi kekecewaan yang makin lama menjadi preseden dalam pengembangan
pendidikan berbasis rakyat.
Penyetaraan ijazah pesantren dengan madrasah yang
setingkat sangat diperlukan. Dalam hal penyetaraan, nantinya lulusan pesantren
adalah sama dan sebangun dengan lulusan madrasah atau sekolah tanpa harus
mengikuti ujian persamaan. Memang membutuhkan banyak perubahan dan adaptasi
dalam pesantren, setidak-tidaknya mengoptimalkan sinergitas pesantren dengan
madrasah. Artinya, sekali lagi, perlu dibuat grand design pengembangan pendidikan NU agar seluruh aspek dan
komponen pendidikan NU dapat diintegrasikan untuk memajukan umat.
Revisi Kurikulum
Revisi kurikulum 1983 mata pelajaran Ahlussunan Waljamaah
dan Ke-NU-an adalah suatu keharusan. Sifatnya pun mendesak. Dalil kekenyalan
kurikulum tampaknya sulit untuk membenarkan aktualitas substansi kurikulum yang
telah berumur dua puluh tahunan. Perubahan politik, gejolak ekonomi,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta reformasi sosial telah
terjadi beruntun dalam kurun tersebut. Tanpa perubahan, kurikulum Aswaja dan
Ke-NU-an hanya akan menjadi beban bagi siswa karena tidak memberi tambahan
kognisi, afeksi maupun psikomotoris mereka.
Jika pengaruh ide, paham atau ajaran akan terlihat
setelah 20 tahun, tampaknya perlu ada riset untuk membuktikan peran mata
pelajaran ini. Dari yang tampak sekarang, keluaran sekolah/madrasah Maarif pada
umumnya jadi agamawan, pekerja sosial (social
workers) atau politisi. Terdapat mereka yang ahli dalam bidang-bidang umum,
termasuk sains dan teknologi atau kaum profesional, tapi jumlahnya sedikit.
Rupanya, sekolah/madrasah Maarif tidak memberikan bekal motivasi yang kuat
untuk belajar ilmu-ilmu eksakta atau keterampilan. Selain itu diduga karena
substansi kurikulum Aswaja dan Ke-NU-an 1983 bobotnya lebih pada “sejarah
sosial politik NU”.
Agak ironis, belakangan ini muncul kaum profesional
bidang keagamaan –maksud saya: mubaligh atau “pimpinan dzikir”— bukan dari
keluaran sekolah/madrasah/pesantren NU. Orientasi penguasaan keterampilan
(skill) memang tidak dominan dalam proses pembelajaran di lingkungan NU.
Termasuk di dalamnya, millieu pembelajaran
belum dikonstruksi untuk merangsang pengembangan potensi individual murid.
Guru/Kyai/Ustad masih konsisten dengan tugasnya untuk mentransfer ilmu
penetahuan, dari pada menggali kemampuan siswa.
Barangkali ada hal yang sama sekali tidak NU dalam
lingkungan pendidikan NU, yaitu lemahnya pembiasaan dalam pendidikan akhlak al-karimah. Ada indikasi terjadinya
reduksi sopan santun sebagai etos individu dan sosial. Terjadinya krisis moral
(seperti sering disinyalir banyak kalangan) tidak bisa dilepaskan dari krisis
akhlak warga NU. Bagaimana tidak, hampir 60 juta bangsa ini adalah warga nahdhiyyin. Sulit dibayangkan performance bangsa ini di kemudian hari
jika NU tidak segera melakukan recovery moral
secepatnya.
Berkenaan dengan itu, Maarif merencanakan merevisi
kurikulum 1983 tersebut. Kita berharap, jangan sampai terjadi perubahan palsu.
Fisiknya berubah, misalnya melalui penuangan dalam format kurikulum berbasis
kompetensi, tetapi substansinya tetap yang lama. Membutuhkan perenungan yang
intens dari tim perubahan agar kurikulum Aswaja dan Ke-NU-an dapat mendisain
karakter warga NU kedepan yang lebih elegan, profesional dan mandiri, dengan
tetap menonjol prinsip dan nilai-nilai ahlussunah
wal jamaah-nya.
Pendidikan NU
Ideal
Warga NU telah mulai rindu dengan NU yang cinta
pendidikan. Jika pendidikan dipahami sebagai starting point rekayasa sosial kaum nahdhiyyin, maka gerakan-gerakan NU kedepan hendaknya merupakan
proses pemberdayaan sumber daya manusia NU yang dapat membekali mereka untuk
memahami eksistensi dirinya dalam tata sosial-kemasyarakatan Indonesia. Dengan
kualitas pendidikan yang baik, akan tidak terlalu sulit untuk memperbaiki
aspek-aspek kehidupan warga NU yang lainnya.
Dalam Muktamar NU ke-31 ini, materi bidang pendidikan telah melingkupi
aspek-aspek ideal dan aspek-aspek teknis perbaikan pendidikan NU. Muktamirin
diharapkan dapat memberikan respons yang lebih progresif, terutama berkaitan
dengan peletakan “sistem pendidikan NU” dalam posisi strategisnya di kancah
pendidikan tingkat nasional dan global. Secara nasional, bagaimana pendidikan
NU sejalan atau lebih maju dari cita-cita reformasi pendidikan; sedangkan di
tingkat global semestinya cita-cita pendidikan NU tetap mendekati
prinsip-prinsip education for all,
excellent education, dan life long
education.
Bagi NU sendiri, pendidikan merupakan upaya mengembangkan
individu agar menjadi manusia yang dapat mengaktualkan potensi-potensi dirinya
dan memiliki responsi sosial, yang mampu mengemban fungsi abdullah dan khalifatullah
sekaligus. Oleh karena itu, diharapkan Maarif dapat mencetak insan muslim yang
sehat jasmani, beriman, bertakwa, memiliki pengetahuan, keterampilan dan
akhlakul karimah, yang dapat memberikan manfaat besar pada kemanusiaan, serta
memiliki komitmen kerakyatan dan kebangsaan. Lembaga-lembaga pendidikan yang
dikelola Maarif hendaknya menjadi inspirasi bagi terwujudnya ukhuwwah nahdhiyah.
Ikhtiar kependidikan yang dilakukan tokoh-tokoh NU selama
ini --pada semua jenis dan jenjang institusi NU-- perlu memperoleh apresiasi
tinggi. Sebagai bagian dari masyarakat pendidikan NU, mereka telah melaksanakan
tugas li i’lâi kalimatillâh dengan ikhlas tanpa tanda jasa. Alangkah
eloknya andaikan Muktamar kali ini dapat menganugerahkan award pendidikan kepada individu nahdhiyyin yang berhasil mengembangkan pendidikan dan mengharumkan
NU. Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar