Sejalan
dengan perkembangan ilmu fiqih dari zaman kenabian yang disebut dengan Periode risalah dan dimulai sejak
kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). sekiranya pada
periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah
SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian
fiqh pada masa itu identik dengan syariat, karena penentuan hukum terhadap
suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW sendiri,hingga
sampailah perkembangannya pada zaman moderen ini yang ditandai
dengan pemikiran-pemikiran ulama yang mengacu pada tuntunan situasi dan
zaman,pergesera-pergeseran pemikiran inilah yang mengacu timbulnya pengaruh
terhadap konteks fiqih,yaitu dengan mengandalkan pemikiran fiqih antropologis
dan rasionalitas hukum, dan menolak pemikiran skripturalisme, yaitu aliran yang
berpegang kepada teks-teks syari'at secara kaku,ini disebabkan karena manusia
pada zaman dulu sangat jauh berbeda dengan manusia pada zaman
sekarang,pemahaman ini tak lagi terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha
menangkap menurutnya, makna hakiki dari teks.
Makna ini dianggap sebagai ruh ajaran Islam, spirit hukum
Islam, maqashid syar'iyah dan sebagainya. faktor yang terpenting terhadap
perubahan litertur fiqih teosentris menjadi antroposentis atau fiqih
moderen adalah karena sangat banyak paradigma-paradigma baru ditengah
tengah literatur masyarakat yang tidak mampu dijawab oleh teks alquran
dan hadis secara teosentris dan munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai
pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman. Oleh karena
itu konsep pemikiran ini berusaha mendobrak kebekuan pemikiran Islam. sekaligus
merupakan fiqh baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan
masyarakat tersebut. Berbagai upaya rekonstruksi fiqh di dunia Islam sekarang
ini merupakan wujud dari konsep penggambaran kebutuhan masyarakat secara sosial
politik maupun global kepada hukum syara’ (fiqih).
Sekitar akhir abad ke-19 timbullah benih benih pergeseran
paradigma cara pengambilan hukun syara’ (fiqih) dengan munculnya berbagai
pemikiran di kalangan ulama ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil
pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat
diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari
mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi'in, dengan syarat
bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai dengan keadaan masyarakat secara rasional.
maka pada tahun 1333 H sebagai salah satu contoh efek dri perkembangan
pemikiran tersebut pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga
(al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat
mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai
pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu
bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Bahkan pada
tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum
keluarga yang diambil dan disaring dari pendapat dari berbagai kitab fiqh
madzhab. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu
kumpulan hukum yang boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai tempat sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial politik maupun global,oleh
karena itu upaya penerapan hukum Islam secara rasionalitas dan penyesuaian
dengan kondisi masyarakat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah
bermunculan hukum-hukum yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di
Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia
dan Indonesia.
Awal perkembangan ini dimulai oleh ide-ide dan
pemikiran-pemikiran syeikh jamaluddin Al-Afgan dan disambung oleh muridnya
Syeikh Muhammad Abduh dan Syeikh Muhammad Rasid Ridha dan ulama ulama lainnya
yang menawarkan literatur pemikiran baru atau moderen kepada umat dengan
penggunaan akal (rasionalitas) secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an
dan bersikap kritis atas hadis-hadis yang dianggap shahih oleh umat Islam
mayoritas,problema yang dihadapi para pembaru Islam ketika mereka menelaah
kembali fiqh yang ada yaitu yang dipersoalkan bukan hanya penafsiran nash-nash
tetapi juga metode pengambilan keputusan hukum (istinbath). Dalam istilah fiqh,
yang harus ditinjau bukan saja al-adillat al-syar'iyat, tetapi juga ushul
al-fiqh.bahkan ada sebagian penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada
Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW saja melainkan juga berdasarkan
pertimbangan tujuan syara' (maqasid as syariyyah) dalam penetapan hukum.
Sebagaian dari bentuk bentuk bukti adanya pergeseran
paradigma pemikiran fiqih menjadi semakin jelas ketika Sayid Jamaluddin
al-Afghani mengenalkan pemikirannya kepada masyarakat Islam, beliau Menyadarkan
umat Islam mengenai kewajiban mereka terhadap agama dan melaksanakan syariat
Allah SWT dengan menawarkan ide ide islah (Bahasa Arab: إصلاح) yang artinya pembaikan atau
perubahan terancang ke arah yang lebih baik lagi,yang beliau rancang untuk
pembaharuan umat. Bentuk-bentuk Islah yang dibawa oleh Sayyid Jamaluddin
al-Afghani diantaranya berupa usaha untuk mengembalikan kecemerlangan umat
Islam sebagaimana zaman khulafaurrasidin yang mengunakan kecerdasan ilmu dan
akalnya,dan juga mengkritik taklid Al-A’ma (Bahasa Arab: تقليد الأعمى yaitu bermaksud mengikuti
sesuatu ajara atau madzhab secara membabi buta) tanpa berlandaskan al-Quran dan
al-Sunnah. Dan menyeru umat Islam agar kembali kepada ajaran Islam yang murni
serta sesuai, dalam artian dapat dilaksanakan sepanjang masa dan tempat
(menembus batas), bahkan menyadarkan umat Islam tentang keburukan fanatik
kepada sesuatu madzhab yang membawa kepada pepecahan umat Islam sendiri, lalu
ide-idea beliau disambung lagi oleh muridnya syekh Muhammad Abduh dan syekh
Muhammad Rasid Rihdo, Seperti halnya syeikh jamaluddin al-afgan Syeikh Muhammad
Abduh pun menyeru umat Islam agar kembali kepada ajaran sebenar benarnya dalam
bentuk yang asal dan murni serta menyesuaikannya berdasarkan kehendak zaman
dengan tidak keluar dari quran dan sunnah. Beliau menolak
sekeras-kerasnya konsep Taqlid al-A'ma (Bahasa Arab: ليد الأعمىتق) atau taklid buta. Beliau mengajak
umat Islam mempelajari ilmu-ilmu fardu kifayah untuk membina umat agar
mempunyai daya fikir yang tinggi dan seterusnya mampu keluar daripada belenggu
taqlid. Seikh muhammad Rasid Ridha pun memiliki konsep yang sama dengan Abduh,
seperti halnya penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an
dan bersikap kritis atas hadis-hadis yang dianggap shahih oleh umat Islam
mayoritas. Misalnya Ridha menolak hadis Bukhari yang menceritakan mengenai
tersihirnya Nabi yang tidak hanya dianalisanya dari sisi matan hadis tetapi
juga dari sisi sanadnya dimana menurut beliau Hisyam, salah seorang perawi
hadis ini mendapat sorotan dan ditolak (mardud) oleh ulama al-Jarh wa at-Ta'dil
atau juga mengenai hadis terbelahnya bulan yang disampaikan oleh Abu Hurairah
melalui jalur Ibnu Juraij yang disebutnya bahwa abu hurairah pada saat itu
sudah pikun saat menceritakan hadis itu pada A'war al-Mashish.
Syeik Rasid Ridha juga mempersempit penafsiran akan
mengenai hal-hal yang berbau ghaib, misalnya dia menganggap bakteri adalah
termasuk bagian dari jin yang mampu membuat orang terkena penyakit, sebagaimana
penafsirannya atas surah al-Baqarah ayat 275. Rasyid Ridha sama seperti Abduh,
sangat berhati-hati menerima riwayat yang mengemukakan pendapat para sahabat
Nabi,baik Abduh maupun Ridha sendiri,dari itulah mulai timbul semangat umat
untuk mengkonsep fikih lebih jauh lagi, menurut Prof.DR.Quraish Shihab Syaikh
Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha adalah perintis jalan
menuju kesempurnaan dan pembaharuan terutama dalam hal tafsir. Dimana tafsir
al-Manar yang pada dasarnya merupakam hasil karya 3 tokoh Islam, yaitu
Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha menurut beliau disitu mencoba menampilkan al-Qur'an dengan wajah
yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern
masa kini, ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai
pendapat dari berbagai mazhab fiqh terutama madzhab yang empat sebagai satu
himpunan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut
mazhab yang fanatis mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup sampai
kapanpun. Suara vokal (pendapat) Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah
inilah kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M,1201
H./1787 M, pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali
asy-Syaukani (dari kalangan syi’ah).
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan
perbuatan bid'ah yang harus dihindari, bahkan tidak ada satu orang pun dari
imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi 'i dan Imam Ahmad
bin Hanbali) membolehkannya. mulai saat itu,konsep kajian fiqh tidak lagi
terikat pada salah satu mazhab, akan tetapi telah mengambil bentuk metode
kajian komparatif dari berbagai mazhab, yaitu yang dikenal sekarang ini dengan
istilah fiqh muqaran.Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik
seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi'i, al-Mabsut
karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan
al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) sifat perbandingan yang mereka
kemukakan dalam kitabnya itu sebenarnya tidak utuh dan tidak komprehensif,
bahkan tidak seimbang sama sekali dengan fenomena masa kini.
Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara
komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi
baik dari segi nash (tekstualitas) maupun rasio (rasionalitas), serta
disertakannya pembahasan (munaqasah) dari kelebihan dan kelemahan masing-masing
mazhab, sehingga pembaca khususnya masyarakat awam dan pelajar dengan mudah
dapat memilih pendapat yang akan diambil secara logis. Metode seperti ini
sedikit ditiru oleh ulama ulama sekarang seperti salah satu contoh Syaikh
Sayyid sabik beliau mengambil metode yang membuang jauh-jauh fanatisme madzhab
tetapi dengan tidak menjelek-jelekkannya. Beliau tetap berprinsip pada
dalil-dalil naqli (Kitabullah), As-Sunnah dan Ijma’ para ulama, juga
mempermudah gaya bahasa tulisannya untuk bisa dicerna pembaca, menghindari
istilah-istilah yang gorib (runyam), tidak bertele tele dalam mengemukakan
ta’lil (alasan-alasan hukum), lebih cenderung untuk memudahkan dan
mempraktiskannya demi kepentingan umat agar mereka senang kepada ilmu agama dan
menerimanya dengan rasional. Beliau juga antusias untuk menjelaskan hikmah dari
pembebanan syari’at (taklif) dengan meneladani secara analisis konteks
al-Qur’an dalam memberikan alasan hukum, tetapi ada kalanya sebagian fanatisan
madzhab mengkritik buku metode pemikiran beliau dan menilainya bahwa metode
seperti itu mengajak seseorang kepada “tidak bermadzhab” yang pada akhirnya menjadi
jembatan menuju ketidak beragamaan dan perdebatan. Akhirnya pada zaman modern
sekarang ini, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal
dan menjadi jadi, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya
menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara
sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum
produk Barat (kaum orientalis) sehingga terciptanya faham “liberalisme”.
Seperti telah diketahui bahwa terbukti pemikiran fikih
klasik yang teosentris tidak dapat menjawab berbagai
permasalah-permasalahan kontemporer di zaman moderen,salah satu contohnya
adalah perbincangan para ulama mengenai masalah zakat profesi atau
pekerjaan-pekerjaan yang tidak diwajibkan zakat padanya. Sebagian di antara
mereka akhirnya menggunakan (masodir islamiyyah) yaitu qiyas juga, akan tetapi
penggunaanya dengan tanpa aturan yang konsisten. Sebagian kaum modernis yang
menolak qiyas mereka menggunakannya dalam menjelaskan zakat profesi. Bahkan
ada yang mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian, zakat emas dan
perak, dan zakat perdagangan. disamping itu juga tidak dapat menyelesaikan
kemusykilan-kemusykilan yang terjadi ketika seseorang melakukan istidlal
(memberikan dalil-dalil hukum) dari nash-nash Al-Quran dan hadis mengenai
Al-masail al- lafzhiyah seperti makna lughuwi (bahasa) makna 'urfi
(kebiasaan),makna haqiqi (sebenarnya)dan majazi (bukan sebenarnya), makna 'am
dan khash dan sebagainya, mukhtalaf al- hadits, penentuan keshahihan hadits,
qawaid ushul al-fiqh dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan penafsiran
nash tidak mendapat perhatian. Akibat persoalan tersebut, orang tidak lagi bisa
memberikan solusi terhadap segala kemusykilan ini. Oleh karena itu perlu
diperhatikan tentang pentingnya penilaian kritis terhadap pendekatan pada ilmu
fiqih (hukum syara’)
Menelaah
literatur fikih pada zaman klasik, dan antisipasi tantangan fikih pada
masa-masa mutaakhir (sekarang), banyak tantangan dalam intern fikih itu
sendiri, untuk selalu eksis menjawab tantangan zaman. Tanpa disadari bahwa
modernisasi telah menjungkirbalikkan budaya termasuk di bidang fiqih. Sebab,
pada esensinya adanya modernisasi yang berkembang dewasa ini adalah memang di
picu dan di belakangi oleh orang-orang orentalis dan kapitalis barat . hal
seperti ini mereka lakukan, untuk melumpuhkan budaya-budaya yang masih berbau
Islam diseluruh belahan dunia. Sehingga, dari implikasi ini, dapat dibuktikan
bahwa budaya luhur Islam sudah semakin rapuh, bahkan tidak ada yang simpati
lagi. Pada situasi saat ini, tantangan demi tantangan harus dihadapi oleh fikih
khususnya,sebab pada era mutaakhir ini, banyak orang-orang telah mengabaikan
fikih, mereka telah dipengaruhi oleh dokrtin-doktrin dan ajaran-ajaran
kapitalisme dan sekulerisme yang sangat mengakar pada pemikiran umat saat ini.
Lebih ironis lagi, mereka beranggapan bahwa fikih pada saat ini sudah tidak
relefan lagi. Dan fikih (fersi ulama' salaf) yang teosentris tidak bisa menjwab
tantangan zaman di kalangan masyarakat, dan terkesan pasif, kuno, konserfatif
dan tidak realistis. Mereka, orang yang alergi fikih itu menghimbau pada
Pakar-pakar fikih, agar mengadakan rehabilitasi fikih, sesuai dengan
perkembangan zaman di era modern dewasa ini. Sebab, fikih haruslah universal, toleran,
tidak kaku seperti fikih doktrin ulama' salaf. Selayaknya fikih berprinsip pada
cermin didalam Islam “permudahlah jangam dipersusah” tidak membikin bingung dan
rumit umat islam
Banyak
cendekiawan muslim yang punya gagasan agar merombak atau mengkonstruksi fikih,
tidak terlalu monoton pada fersi empat mazhab, Sebab, mereka beralasan, bahwa
Para Imam Mujtahid Mutlak, memprodak hukum melalui ijtihad. Sedangkan ijtihad
tidak semua benar karena bersifat dzon (sangkaan). Ooleh karena itu semua orang
pun mampu berbuat ijtihat seperti halnya ulama zaman dulu, dan sekarang ijtihad
ulama salaf dimungkinkan sudak tidak layak di aplikasikan lagi di tengah-tengah
masyarakat modern seperti sekarang,
Fikih
sudah mengalami banyak kemunduran. Sebab, kader-kader fikih yang profesional
tidak seperti pemotor fikih pada fase pertama dan penerusnya (di masa keemasan
fiqih dulu). Kemunduran dalam fikih memang dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama
semakin minimnya kader fikih yang berkualitas dan punya kapabilitas dan kredibelitas
untuk selalu menggali hukum yang bisa penyebab berlangsungnya fikih, berkenaan
dengan problematika sosial yang terus bermuculan saat ini. Kedua
kurangnya kader-kder yang tertarik dan simpati pada fikih. Dari pelbagai
lapisan masyarakat banyak yang dipengaruhi oleh doktrin-doktrin orang-orang
kapitalis barat. Ketiga sugesti atau keyakinan dan motifasi pada orang
yang ingin memperdalam fikih sudah musnah, dikarenakan tidak adanya jaminan
material sama sekali dalam orientasi fikih, semuanya hanya semata-mata krena
Allah.
Nabi
saw. Telah menegaskan. Bahwa, orang yang di kehendaki baik oleh Allah, niscaya
dia akan Allah menganugrahi faham dan mengerti tentang agama(man yudid
allohu bihi khoiron yufaqqihu fi ad dien). Dan faham terhadap agama ini
adalah yang disebut dengan (fiqih).oleh karena itu jika seseorang sudah tidak
lagi mengetahui tentang permasalahan agama khususnya ilmu fiqih apakah hukum
masih bisa membetulkannya?, apalagi sampai menghujjah pada peminatnya, tentu
orang tersebut harus dipertanyakan ke Islamannya. Jadi, untuk zaman yang sangat
global ini, sebaiknya para generasi muda islam tetap lebih mementingkan
keberlangsungan fikih secara konsisten untuk selalu eksis sepanjang masa.
Dan
ketika dibutuhkannya SDM yang punya kapabilitas dan kredibilitas yang baik
untuk selalu merekontruksi ke berlangsungan fikih di sepanjang zaman akan
terjawab dengan mudah, dan harus berupaya membendung serangan-serangan kotor
liberalisme, kapitalisme dan sekulerisme yang semakin menjadi-jadi dewasa ini.
dengan tetap menghargai para salaf al-salih yang telah menyumbangkan
ilmunya terhadap khazanah Islam dan tanpa mengkritik habis-habisan terhadap
karyanya,karena dari ulama-ulama itulah terciptanya disiplin-disiplin ilmu yang
kita pelajari sekarang ini,Peranan fiqih untuk selalu eksis
sepanjang zaman dan untuk masa depan fiqih ditengah-tengah himpitan sistem
sekularisme sangat ditentukan oleh kader-kader fiqih yang selalu
konsisten dari zaman ke zaman, dari masa kemasa. Dan Seharusnya para generasi
muda lebih spontan menyikapi masalah fikih pada saat ini yang sudah semakin
jatuh bangun.
Dan pada era yang plural dan cukup panas ini, semestinya kader fiqih terus
menerus lahir dan tercipta sepanjang zaman, sehingga fiqih bisa menjadi jaya
dan menjadi dambaan bagi setiap orang, seperti pada masa clasik dulu. Sebab,
sesuai keberadaannya fiqih ini adalah suatu dasar bagi setiap orang untuk
melangkah, melaksanakan kegiatannya sehari-hari (amaliah), berinteraksi social
(muamalah), berbisnis, berbudaya, berpolitik dan lain sebagainya demi mengharap
ridhoNya amiiiin.
bagus sekali untuk dibaca
BalasHapusban mobil bocor