Kamis, 04 September 2014

Paradigma Menuju Fiqh Modern

Sejalan dengan perkembangan ilmu fiqih dari zaman kenabian yang disebut dengan   Periode risalah dan dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). sekiranya pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syariat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW sendiri,hingga sampailah perkembangannya   pada zaman moderen ini yang ditandai dengan pemikiran-pemikiran ulama yang mengacu pada tuntunan situasi dan zaman,pergesera-pergeseran pemikiran inilah yang mengacu timbulnya pengaruh terhadap konteks fiqih,yaitu dengan mengandalkan pemikiran fiqih antropologis dan rasionalitas hukum, dan menolak pemikiran skripturalisme, yaitu aliran yang berpegang kepada teks-teks syari'at secara kaku,ini disebabkan karena manusia pada zaman dulu sangat jauh berbeda dengan manusia pada zaman sekarang,pemahaman ini tak lagi terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap menurutnya, makna hakiki dari teks.
Makna ini dianggap sebagai ruh ajaran Islam, spirit hukum Islam, maqashid syar'iyah dan sebagainya. faktor yang terpenting terhadap perubahan litertur fiqih teosentris menjadi antroposentis atau fiqih  moderen adalah karena sangat banyak paradigma-paradigma baru ditengah tengah  literatur masyarakat yang tidak mampu dijawab oleh teks alquran dan hadis secara teosentris dan munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman. Oleh karena itu konsep pemikiran ini berusaha mendobrak kebekuan pemikiran Islam. sekaligus merupakan fiqh baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan masyarakat tersebut. Berbagai upaya rekonstruksi fiqh di dunia Islam sekarang ini merupakan wujud dari konsep penggambaran kebutuhan masyarakat secara sosial politik maupun global kepada hukum syara’ (fiqih).
Sekitar akhir abad ke-19 timbullah benih benih pergeseran paradigma cara pengambilan hukun syara’ (fiqih) dengan munculnya berbagai pemikiran di kalangan ulama ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi'in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai dengan keadaan masyarakat secara rasional. maka pada tahun 1333 H sebagai salah satu contoh efek dri perkembangan pemikiran tersebut pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Bahkan pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang diambil dan disaring dari pendapat dari berbagai kitab fiqh madzhab. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum yang boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai tempat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial politik maupun global,oleh karena itu upaya penerapan hukum Islam secara rasionalitas dan penyesuaian dengan kondisi masyarakat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum-hukum yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Awal perkembangan ini dimulai oleh ide-ide dan pemikiran-pemikiran syeikh jamaluddin Al-Afgan dan disambung oleh muridnya Syeikh Muhammad Abduh dan Syeikh Muhammad Rasid Ridha dan ulama ulama lainnya yang menawarkan literatur pemikiran baru atau moderen kepada umat dengan penggunaan akal (rasionalitas) secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an dan bersikap kritis atas hadis-hadis yang dianggap shahih oleh umat Islam mayoritas,problema yang dihadapi para pembaru Islam ketika mereka menelaah kembali fiqh yang ada yaitu yang dipersoalkan bukan hanya penafsiran nash-nash tetapi juga metode pengambilan keputusan hukum (istinbath). Dalam istilah fiqh, yang harus ditinjau bukan saja al-adillat al-syar'iyat, tetapi juga ushul al-fiqh.bahkan ada sebagian penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW saja melainkan juga berdasarkan pertimbangan tujuan syara' (maqasid as syariyyah) dalam penetapan hukum.
Sebagaian dari bentuk bentuk bukti adanya pergeseran paradigma pemikiran fiqih menjadi semakin jelas ketika Sayid Jamaluddin al-Afghani mengenalkan pemikirannya kepada masyarakat Islam, beliau Menyadarkan umat Islam mengenai kewajiban mereka terhadap agama dan melaksanakan syariat Allah SWT dengan menawarkan ide ide islah (Bahasa Arab: إصلاح) yang artinya pembaikan atau perubahan terancang ke arah yang lebih baik lagi,yang beliau rancang untuk pembaharuan umat. Bentuk-bentuk Islah yang dibawa oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani diantaranya berupa usaha untuk mengembalikan kecemerlangan umat Islam sebagaimana zaman khulafaurrasidin yang mengunakan kecerdasan ilmu dan akalnya,dan juga mengkritik taklid Al-A’ma (Bahasa Arab: تقليد الأعمى yaitu bermaksud mengikuti sesuatu ajara atau madzhab secara membabi buta) tanpa berlandaskan al-Quran dan al-Sunnah. Dan menyeru umat Islam agar kembali kepada ajaran Islam yang murni serta sesuai, dalam artian dapat dilaksanakan sepanjang masa dan tempat (menembus batas), bahkan menyadarkan umat Islam tentang keburukan fanatik kepada sesuatu madzhab yang membawa kepada pepecahan umat Islam sendiri, lalu ide-idea beliau disambung lagi oleh muridnya syekh Muhammad Abduh dan syekh Muhammad Rasid Rihdo, Seperti halnya syeikh jamaluddin al-afgan Syeikh Muhammad Abduh pun menyeru umat Islam agar kembali kepada ajaran sebenar benarnya dalam bentuk yang asal dan murni serta menyesuaikannya berdasarkan kehendak zaman dengan  tidak keluar dari quran dan sunnah. Beliau menolak sekeras-kerasnya konsep Taqlid al-A'ma (Bahasa Arab: ليد الأعمىتق) atau taklid buta. Beliau mengajak umat Islam mempelajari ilmu-ilmu fardu kifayah untuk membina umat agar mempunyai daya fikir yang tinggi dan seterusnya mampu keluar daripada belenggu taqlid. Seikh muhammad Rasid Ridha pun memiliki konsep yang sama dengan Abduh, seperti halnya penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an dan bersikap kritis atas hadis-hadis yang dianggap shahih oleh umat Islam mayoritas. Misalnya Ridha menolak hadis Bukhari yang menceritakan mengenai tersihirnya Nabi yang tidak hanya dianalisanya dari sisi matan hadis tetapi juga dari sisi sanadnya dimana menurut beliau Hisyam, salah seorang perawi hadis ini mendapat sorotan dan ditolak (mardud) oleh ulama al-Jarh wa at-Ta'dil atau juga mengenai hadis terbelahnya bulan yang disampaikan oleh Abu Hurairah melalui jalur Ibnu Juraij yang disebutnya bahwa abu hurairah pada saat itu sudah pikun saat menceritakan hadis itu pada A'war al-Mashish.
Syeik Rasid Ridha juga mempersempit penafsiran akan mengenai hal-hal yang berbau ghaib, misalnya dia menganggap bakteri adalah termasuk bagian dari jin yang mampu membuat orang terkena penyakit, sebagaimana penafsirannya atas surah al-Baqarah ayat 275. Rasyid Ridha sama seperti Abduh, sangat berhati-hati menerima riwayat yang mengemukakan pendapat para sahabat Nabi,baik Abduh maupun Ridha sendiri,dari itulah mulai timbul semangat umat untuk mengkonsep fikih lebih jauh lagi, menurut Prof.DR.Quraish Shihab Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha  adalah perintis jalan menuju kesempurnaan dan pembaharuan terutama dalam hal tafsir. Dimana tafsir al-Manar  yang pada dasarnya merupakam hasil karya 3 tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menurut beliau  disitu mencoba menampilkan al-Qur'an dengan wajah yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern masa kini, ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh terutama madzhab yang empat sebagai satu himpunan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab yang fanatis mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup sampai kapanpun. Suara vokal (pendapat) Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah inilah kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M,1201 H./1787 M, pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani (dari kalangan syi’ah).
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan bid'ah yang harus dihindari, bahkan tidak ada satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi 'i dan Imam Ahmad bin Hanbali) membolehkannya. mulai saat itu,konsep kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, akan tetapi telah mengambil bentuk metode kajian komparatif dari berbagai mazhab, yaitu yang dikenal sekarang ini dengan istilah fiqh muqaran.Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi'i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) sifat perbandingan yang mereka kemukakan dalam kitabnya itu sebenarnya tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali dengan fenomena masa kini.
Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi baik dari segi nash (tekstualitas) maupun rasio (rasionalitas), serta disertakannya pembahasan (munaqasah) dari kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca khususnya masyarakat awam dan pelajar dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil secara logis. Metode seperti ini sedikit ditiru oleh ulama ulama sekarang seperti salah satu contoh Syaikh Sayyid sabik beliau mengambil metode yang membuang jauh-jauh fanatisme madzhab tetapi dengan tidak menjelek-jelekkannya. Beliau tetap berprinsip pada dalil-dalil naqli (Kitabullah), As-Sunnah dan Ijma’ para ulama, juga mempermudah gaya bahasa tulisannya untuk bisa dicerna pembaca, menghindari istilah-istilah yang gorib (runyam), tidak bertele tele dalam mengemukakan ta’lil (alasan-alasan hukum), lebih cenderung untuk memudahkan dan mempraktiskannya demi kepentingan umat agar mereka senang kepada ilmu agama dan menerimanya dengan rasional. Beliau juga antusias untuk menjelaskan hikmah dari pembebanan syari’at (taklif) dengan meneladani secara analisis konteks al-Qur’an dalam memberikan alasan hukum, tetapi ada kalanya sebagian fanatisan madzhab mengkritik buku metode pemikiran beliau dan menilainya bahwa metode seperti itu mengajak seseorang kepada “tidak bermadzhab” yang pada akhirnya menjadi jembatan menuju ketidak beragamaan dan perdebatan. Akhirnya pada zaman modern sekarang ini, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal dan menjadi jadi, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat (kaum orientalis) sehingga terciptanya faham “liberalisme”.
Seperti telah diketahui bahwa terbukti pemikiran fikih klasik yang teosentris tidak dapat  menjawab berbagai permasalah-permasalahan kontemporer di zaman moderen,salah satu contohnya adalah perbincangan para ulama mengenai masalah zakat profesi atau pekerjaan-pekerjaan yang tidak diwajibkan zakat padanya. Sebagian di antara mereka akhirnya menggunakan (masodir islamiyyah) yaitu qiyas juga, akan tetapi penggunaanya dengan tanpa aturan yang konsisten. Sebagian kaum modernis yang menolak qiyas mereka  menggunakannya dalam menjelaskan zakat profesi. Bahkan ada yang mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian, zakat emas dan perak, dan zakat perdagangan. disamping itu juga tidak dapat menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan yang terjadi ketika seseorang melakukan istidlal (memberikan dalil-dalil hukum) dari nash-nash Al-Quran dan hadis mengenai Al-masail al- lafzhiyah  seperti makna lughuwi (bahasa) makna 'urfi (kebiasaan),makna haqiqi (sebenarnya)dan majazi (bukan sebenarnya), makna 'am dan khash dan sebagainya, mukhtalaf al- hadits, penentuan keshahihan hadits, qawaid ushul al-fiqh dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan penafsiran nash tidak mendapat perhatian. Akibat persoalan tersebut, orang tidak lagi bisa memberikan solusi terhadap segala kemusykilan ini. Oleh karena itu perlu diperhatikan tentang pentingnya penilaian kritis terhadap pendekatan pada ilmu fiqih (hukum syara’)
Menelaah literatur fikih pada zaman klasik, dan antisipasi tantangan fikih pada masa-masa mutaakhir (sekarang), banyak tantangan dalam intern fikih itu sendiri, untuk selalu eksis menjawab tantangan zaman. Tanpa disadari bahwa modernisasi telah menjungkirbalikkan budaya termasuk di bidang fiqih. Sebab, pada esensinya adanya modernisasi yang berkembang dewasa ini adalah memang di picu dan di belakangi oleh orang-orang orentalis dan kapitalis barat . hal seperti ini mereka lakukan, untuk melumpuhkan budaya-budaya yang masih berbau Islam diseluruh belahan dunia. Sehingga, dari implikasi ini, dapat dibuktikan bahwa budaya luhur Islam sudah semakin rapuh, bahkan tidak ada yang simpati lagi. Pada situasi saat ini, tantangan demi tantangan harus dihadapi oleh fikih khususnya,sebab pada era mutaakhir ini, banyak orang-orang telah mengabaikan fikih, mereka telah dipengaruhi oleh dokrtin-doktrin dan ajaran-ajaran kapitalisme dan sekulerisme yang sangat mengakar pada pemikiran umat saat ini. Lebih ironis lagi, mereka beranggapan bahwa fikih pada saat ini sudah tidak relefan lagi. Dan fikih (fersi ulama' salaf) yang teosentris tidak bisa menjwab tantangan zaman di kalangan masyarakat, dan terkesan pasif, kuno, konserfatif dan tidak realistis. Mereka, orang yang alergi fikih itu menghimbau pada Pakar-pakar fikih, agar mengadakan rehabilitasi fikih, sesuai dengan perkembangan zaman di era modern dewasa ini. Sebab, fikih haruslah universal, toleran, tidak kaku seperti fikih doktrin ulama' salaf. Selayaknya fikih berprinsip pada cermin didalam Islam “permudahlah jangam dipersusah” tidak membikin bingung dan rumit umat islam
Banyak cendekiawan muslim yang punya gagasan agar merombak atau mengkonstruksi fikih, tidak terlalu monoton pada fersi empat mazhab, Sebab, mereka beralasan, bahwa Para Imam Mujtahid Mutlak, memprodak hukum melalui ijtihad. Sedangkan ijtihad tidak semua benar karena bersifat dzon (sangkaan). Ooleh karena itu semua orang pun mampu berbuat ijtihat seperti halnya ulama zaman dulu, dan sekarang ijtihad ulama salaf dimungkinkan sudak tidak layak di aplikasikan lagi di tengah-tengah masyarakat modern seperti sekarang,
Fikih sudah mengalami banyak kemunduran. Sebab, kader-kader fikih yang profesional tidak seperti pemotor fikih pada fase pertama dan penerusnya (di masa keemasan fiqih dulu). Kemunduran dalam fikih memang dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama semakin minimnya kader fikih yang berkualitas dan punya kapabilitas dan kredibelitas untuk selalu menggali hukum yang bisa penyebab berlangsungnya fikih, berkenaan dengan problematika sosial yang terus bermuculan saat ini. Kedua kurangnya kader-kder yang tertarik dan simpati pada fikih. Dari pelbagai lapisan masyarakat banyak yang dipengaruhi oleh doktrin-doktrin orang-orang kapitalis barat. Ketiga sugesti atau keyakinan dan motifasi pada orang yang ingin memperdalam fikih sudah musnah, dikarenakan tidak adanya jaminan material sama sekali dalam orientasi fikih, semuanya hanya semata-mata krena Allah.  
Nabi saw. Telah menegaskan. Bahwa, orang yang di kehendaki baik oleh Allah, niscaya dia akan Allah menganugrahi faham dan mengerti tentang agama(man yudid allohu bihi khoiron yufaqqihu fi ad dien). Dan faham terhadap agama ini adalah yang disebut dengan (fiqih).oleh karena itu jika seseorang sudah tidak lagi mengetahui tentang permasalahan agama khususnya ilmu fiqih apakah hukum masih bisa membetulkannya?, apalagi sampai menghujjah pada peminatnya, tentu orang tersebut harus dipertanyakan ke Islamannya. Jadi, untuk zaman yang sangat global ini, sebaiknya para generasi muda islam tetap lebih mementingkan keberlangsungan fikih secara konsisten untuk selalu eksis sepanjang masa.
Dan ketika dibutuhkannya SDM yang punya kapabilitas dan kredibilitas yang baik untuk selalu merekontruksi ke berlangsungan fikih di sepanjang zaman akan terjawab dengan mudah, dan harus berupaya membendung serangan-serangan kotor liberalisme, kapitalisme dan sekulerisme yang semakin menjadi-jadi dewasa ini. dengan tetap menghargai para salaf al-salih yang  telah menyumbangkan ilmunya terhadap khazanah Islam dan tanpa mengkritik habis-habisan terhadap karyanya,karena dari ulama-ulama itulah terciptanya disiplin-disiplin ilmu yang kita pelajari sekarang ini,Peranan fiqih untuk selalu eksis sepanjang zaman dan untuk masa depan fiqih ditengah-tengah himpitan sistem sekularisme sangat ditentukan oleh kader-kader fiqih  yang selalu konsisten dari zaman ke zaman, dari masa kemasa. Dan Seharusnya para generasi muda lebih spontan menyikapi masalah fikih pada saat ini yang sudah semakin jatuh bangun.  Dan pada era yang plural dan cukup panas ini, semestinya kader fiqih terus menerus lahir dan tercipta sepanjang zaman, sehingga fiqih bisa menjadi jaya dan menjadi dambaan bagi setiap orang, seperti pada masa clasik dulu. Sebab, sesuai keberadaannya fiqih ini adalah suatu dasar bagi setiap orang untuk melangkah, melaksanakan kegiatannya sehari-hari (amaliah), berinteraksi social (muamalah), berbisnis, berbudaya, berpolitik dan lain sebagainya demi mengharap ridhoNya amiiiin.

1 komentar: