Khazanah
MEMBINCANG ISU-ISU STRATEGIS
PENDIDIKAN NU:
MENUJU PENDIDIKAN BERMUTU
Laporan Redaksi
Mukaddimah
Sebagai
organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dalam
perjalanannya telah banyak mengukir prestasi membanggakan di berbagai aspeknya.
Bahkan,
lahirnya Indonesia
itu sendiri salah satunya dibidani oleh kiprah warganya dalam merebut
kemerdekaan dari cengkeraman kekuasaan tentara kolonial. Makanya, tak heran
jika posisi warga nahdliyin—yang selalu dicitrakan tradisionalis ini—ternyata
diperhitungkan di antara organisasi-organisasi selevelnya. Di samping tentu
saja selalu mewarnai perjalanan bangsa selanjutnya.
Peran warga nahdliyin yang begitu
besar tersebut tentu bukanlah hasil yang instan, melainkan proses panjang yang telah
dihadapi dalam setiap babak-babak sejarahnya. Tidak sedikit aral yang
merintangi lokomotif organisasi ini, tetapi hal itu justru semakin mematangkan
epistemologi dan gerak maju warganya untuk terus mewarnai dan mengukir
kebanggaan bagi bangsanya. Kalau demikian, apa sesungguhnya yang melatari
Nahdlatul Ulama, hingga sedemikian konsistennya dalam mengawal proses
pembangunan bangsa di semua perniknya, termasuk yang paling penting dalam
sebuah bangunan negara-bangsa (nation-state), yaitu dalam pembangunan
moral dan akhlaqul karimah (moral building) warga negara? Pertanyaan
inilah yang sekilas akan dikupas dalam rubrik ini. Asumsinya adalah, bahwa
faktor yang sangat penting dalam proses pembangunan bangsa adalah sumbangsih NU
dalam mempersiapkan sumber daya manusia (human resource) yang
berkualitas dan berakhlakul karimah. Fungsi inilah yang selama ini diperankan
oleh lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di sekian banyak basis nahdhiyyin
di seluruh Indonesia.
Dalam konteks inilah, PP LP Ma’arif NU adalah lokomotif
yang berada pada garda terdepan pendidikan NU, baik dalam pengertian kultural
maupun struktural.
Melihat betapa
pentingnya aspek pendidikan, tentu saja persoalan-persoalan menyangkut
pendidikan, secara langsung juga menjadi hal yang mutlak diselesaikan. Oleh
karena itu, rubrik ini secara khusus menampilkan diskursus menyangkut isu-isu
strategis dunia pendidikan mutakhir, terutama yang berada di lingkungan PP LP
Ma’arif NU.
Menyambut
Muktamar PBNU XXXI, Solo, Jawa Tengah
Pada
bulan November 2004 di Solo, Jawa Tengah, Muktamar PBNU XXXI kembali digelar.
Berbeda dengan forum basa-basi yang biasanya berlangsung di warung kopi,
momentum Muktamar selalu menyajikan menu yang begitu beragam dan serius. Tapi jangan salah, ini bukan soal makanan, melainkan sederetan
daftar masalah yang akan didilahap habis para pesertanya. Forum istimewa dan
yang diistimewakan warga nahdhiyyin ini, memang selalu ditunggu-tunggu
hasilnya. Pasalnya, ritualitas organisasi yang diselenggarakan lima tahunan ini
memang sejak awal diharapakan menghasilkan produk-produk pemikiran segar yang
mampu menjawab pelbagai problem keagamaan dan sekalius sosial-kemasyarakatan
yang merajam selama lebih dari lima tahun terakhir. Menariknya, Muktamar bukan
sekedar ritualitas organisasi untuk mengganti kepengurusan lama, dengan
kepengurusan baru. Lebih dari itu, Muktamar menjadi momentum strategis dalam
menyingkap problem kebangsaan mutakhir. Untuk selanjutnya, para peserta secara
bersama-sama membincang ulang problem yang mengemuka, dan pada akhirnya dicarikan
solusinya.
Salah satu yang menjadi agenda penting dalam Muktamar
adalah membincang isu-isu strategis menyangkut dunia pendidikan di lingkungan
NU—dalam hal ini yang menjadi tanggung jawab PP LP Ma’arif NU. Sebab, diakui
ataupun tidak pendidikan menjadi problem akut yang menjadi keprihatinan banyak
pihak, bukan hanya di kalangan internal NU, melainkan juga secara umum bagi
seluruh elemen bangsa. Sehingga, forum Muktamar dianggap sebagai ruang yang
paling strategis bagi upaya pemecahan masalah pendidikan, utamanya yang selama
ini menggurita di lingkungan NU.
Pendidikan NU dalam Perspektif
Dalam konteks inilah, belum lama ini PP LP Ma’arif NU
(28/07/2004) mengadakan forum silaturrahim pendidikan dengan tajuk, ”Menyambut
Tahun Mutu Pendidikan 2005”. Forum yang dihadiri oleh banyak komponen ini, yaitu
di antaranya oleh pengurus PBNU, pengurus PP LP Maa’rif NU, unsur Depdiknas, unsur
Depag, dan lainnya, membincang banyak hal menyangkut kondisi obyektif dunia
pendidikan, utamanya lembaga-lembaga pendidikan yang berada di lingkungan NU. Di
antaranya, seperti diungkapkan Drs. Nadjid Muchtar, MA. (Ketua Umum PP LP
Ma’arif NU), bahwa berbagai kebijakan pendidikan yang dikeluarkan PP LP Ma’arif
NU, terkait dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, pada dasarnya baru mulai
pada taraf sosialisasi. Tentu saja langkah ini ke depan perlu ditindaklanjuti
dengan menciptakan kondisi atau suasana kependidikan yang efektif dan efisien
yang secara langsung dialami satuan-satuan pendidikan yang ada di lingkungan
NU. Beberapa hal yang menjadi kendala yang sekarang dirasakan PP LP Ma’arif NU dalam
meningkatkan mutu pendidikan adalah: [1] ketersediaan dana yang sangat minim,
[2] masih lemahnya konsolidasi organisasi dan pola hubungan kelembagaan
pendidikan antara pengurus Ma’arif dengan penyelenggara satuan pendidikan di
bawah naungan Ma’arif, serta [3] mutu sumber daya manusia (human resource)
yang belum memadai, di samping persebarannya juga belum merata.
Mengomentari apa yang disebutkan ketua umum PP LP Ma’arif
NU di atas, KH. M. Tholchah Hasan memandang, bahwa selama ini NU nampaknya
mengalami ketidakseimbangan dalam memandang tokoh-tokohnya sendiri. Dalam arti,
secara organisasional NU cenderung membatasi komunikasi formal maupun
non-formal, hanya pada sektor-sektor struktural an sich. Padahal,
sebetulnya banyak sekali kekuatan NU yang bisa diharapkan kontribusinya bagi
pelaksanaan program-program keagamaan dan kemasyarakatan NU, yang di antaranya
adalah pada bidang pendidikan. Ke depan, NU lebih baik menyibukkan dirinya dengan
persoalan-persoalan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan warganya. Ini
bisa dilakukan salah satunya dengan mengurangi arus keterlibatan NU dalam
politik kekuasaan atau politik praktis. PP LP Ma’arif NU masa bakti 1999-2004,
memang telah mampu membuat jarak dengan “kekuasaan” sehingga tidak menyibukkan
dirinya ke dalam kepentingan-kepentingan politik praktis. Yang dilakukan PP LP Ma’arif NU selama ini merupakan terobosan baru dalam
melakukan komunikasi dan konsolidasi organisasi dengan kekuatan-kekuatan
non-struktural NU. Oleh karena itu, hal ini perlu dicontoh oleh lembaga-lembaga
lainnya di lingkungan NU.
Dalam konteks peningkatan mutu pendidikan di lingkungan
NU, PP LP Ma’arif ke depan seharusnya lebih mempunyai gagasan-gagasan yang
lebih berani. Sebab, selama ini kondisi pendidikan di lingkungan NU masih
terasa timpang, dalam arti, bahwa bidang-bidang yang dikembangkan masih melulu religio-centris
(berpusat pada kajian-kajian agama). Padahal, tuntutan masyarakat sekarang
ini bukan hanya pada disiplin agama, melainkan yang juga tidak kalah penting
adalah pengembangan bidang-bidang yang diorientasikan pada penguasaan sains dan
tekhnologi. Dari
beberapa perguruan tinggi yang ada, misalanya, terasa betapa dominannya
fakultas Tarbiyah dengan jurusan atau program studi Pendidikan Agama Islam dan
semacamnya. Bidang-bidang penting yang menjadi prasyarat kemajuan ilmu
pengetahuan modern terkesan diabaikan. Oleh karena itu, perlu keberanian untuk
melakukan perombakan visi pendidikan di lingkungan NU. Di beberapa kalangan di
lingkungan NU sesungguhnya mulai tumbuh semangat untuk melakukan hal itu.
Sebagai contoh, di Banjarmasin ada salah satu tokoh NU yang dengan
perjuangannya bisa membangun gedung baru senilai kurang lebih 3 (tiga) miliar
dan menurutnya bangunan itu kemudian akan digunakan sebagai perguruan tinggi
yang membuka bidang-bidang ilmu pengetahuan modern yang diharapkan mampu
membangkitkan gairah kader-kader terpelajar NU dalam mengambangkan potensi dan
keterampilannya, sehingga menjadi manusia unggulan di bidang teknologi, dengan
tanpa tercerabut dari nilai-nilai agama.
Sementara dalam amatan Prof. Dr. H. Qodri A. Azizy, MA,
bahwa yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana merumuskan
masalah-masalah yang berkaitan dengan politik pendidikan. Hal ini terutama
karena selama ini banyak masalah pendidikan yang belum terselesaikan, misalnya
soal desentralisasi madrasah, soal penyatuan institusi pemerintah yang
menangani pendidikan, yakni apakah semua satuan pendidikan mesti disatukan
dalam satu atap dengan institusi pemerintah, dan lain sebagainya. Dalam melihat
masalah-masalah tersebut, sepertinya belum ada sikap dan visi yang sama di
lingkugan NU. PP LP Ma’arif NU misalnya, setuju dalam hal desentralisasi
madrasah, tetapi bagaimana sikapnya dengan masalah penyatuan atap. Dalam situasi
kebimbangan semacam ini, semestinya tidak perlu ada tokoh-tokoh NU yang terlalu
berani mendukung atau menolak penyatuan atap antara madrasah dan sekolah, sebelum
PP LP Ma’arif NU mempunyai sikap yang tegas mengenai persoalan ini. Dari situ kemudian,
PP LP Ma’arif NU ke depan perlu dibuat “master-plan” pendidikan yang
baku. Dari sinilah, perlu juga dibuat proyek percontohan sekolah/madrasah dan
perguruan tinggi di setiap daerah yang membuka program-program studi yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern atau program yang bisa memberi bekal
keterampilan hidup (life skill) bagi
para lulusannya. Banyaknya sekolah tinggi agama yang mendominasi lembaga
pendidikan NU saat ini, ternyata menimbulkan masalah tersendiri yang perlu
segera diatasi. Bahkan, bila perlu dilakukan merjer di antara beberapa sekolah
tinggi agama yang ada di lingkungan NU, kemudian mengkonsentrasikan pada
pengembangan program-program studi lainnya.
Di samping itu, PP LP Ma’arif NU harus segera melakukan
upaya penataan aset pendidikan yang dimilikinya. Sebab, banyak lembaga-lembaga
pendidikan yang konon semula dimiliki atau manajemennya diatur oleh Ma’arif,
tetapi sekarang tidak jelas statusnya.
Untuk memajukan sektor pendidikan, maka sarana dan pra sarana semacam ini
seharusnya ditata ulang. sehingga bisa menjadi modal besar bagi organisasi
untuk memajukan program-program pendidikan.
Mengamati persoalan pendidikan di lingkungan NU, Dr.
Bahrul Hayat (Direktur Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas RI)
barangkali lebih melihat dari sisi lain. Baginya, ada beberapa hal yang terkait
dengan program-program PP LP Ma’arif NU yang berkaitan erat dengan Depdiknas dan
Depag RI. Oleh karena itu, ditandatanginya Memorandum
of Understandibng (MoU) atau nota kesepahaman tentang peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU, yaitu antara
PP LP Ma’arif NU, Ditjen Dikdasmen Depdiknas RI, dan Ditjen Bagai Depag RI,
pada 10 Pebruari 2004 yang lalu, sebaiknya perlu segera ditindaklanjuti dengan
program-program konkret yang bisa dilakukan bersama oleh ketiga lembaga
tersebut. Langkah pertama adalah dengan membuat rencana kegiatan dalam rentang
waktu hingga bulan Nopember 2004. Kemudian segera dijadwalkan pertemuan antara
pihak-pihak yang menandatangi MoU tersebut.
Sehingga, dalam pertemuan itu, nantinya dibicarakan berbagai kegiatan yang bisa
dikerjasamakan, misalnya seminar pendidikan, workshop peningkatan SDM kepala
sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya. Hal senada juga dikemukakan
oleh Prof. Dr. H. Arif Furqon, MA., bahwa sebenarnya banyak sekali pihak-pihak
di luar struktur NU yang siap memberikan kontribusi pada pelaksanaan
program-program LP Ma’arif NU, terutama dari lingkungan Depdiknas RI maupun
Depag RI. Namun demikian, hal itu tentu
harus dilakukan dengan cara-cara yang legal atau formal menurut aturan main
yang ada. MoU yang ditandatangani PP
LP Ma’arif NU, Depdiknas RI, dan Depad RI bisa dijadikan sebagai payung untuk
memperoleh bantuan dari instansi yang bersangkutan untuk meningkatkan mutu dan
kualitas pendidikan Ma’arif NU. Kita harus mulai memperlebar komunikasi kita
dengan orang-orang NU yang berada di luar struktur NU, sebagaimana disinggung
oleh Bapak KH. M. Tholchah Hasan. Sebab, pada dasarnya mereka juga mempunyai
visi dan misi yang sama dengan NU dan siap berjuang untuk kepentingan NU. Untuk
bisa mewujudkan kerjasama yang baik dengan lembaga-lembaga terkait, LP Ma’arif
NU diharapkan mempunyai rencana strategis (renstra) yang terukur dan aplicable, yang bersifat praktis dan
teknis sehingga bisa dilakukan secara nyata, bukan yang bersifat muluk-muluk
yang jauh dari jangkauan masyarakat kita (nahdliyin).
Renstra itulah kemudian yang menjadi rujukan bagi pihak-pihak yang terkait
untuk melakukan langkah-langkah peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU.
Bagi Drs. HM. Suparta, MA., hingga saat ini persoalan
pendidikan di lingkungan NU memang terasa berat. Betapa sulitnya memajukan
sektor pendidikan di lingkungan NU. Tetapi hal itu bukan alasan untuk berhenti
berupaya. Barangkali, sulitnya memajukan sektor pendidikan di lingkungan NU
kira-kira sama dengan sulitnya Muhammadiyah mendirikan pesantren. Namun, semua
itu tentu bisa diatasi dengan kerjasama antar warga NU maupun dengan
pihak-pihak lain yang memperhatikan masalah pendidikan, terutama instansi
pemerintah (Depdiknas dan Depag). Untuk itu, perlu perhatian dan kepedulian
yang dalam di kalangan warga NU yang mempunyai akses kebijakan di lingkungan
pemerintah. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan pengajaran di
lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU,
PP LP Ma’arif NU sekarang ini sedang melakukan penyempurnaan materi dan
penerbitan buku-buku Ahlussunnah Waljama’ah dan ke-NU-an. Bahkan, buku tersebut
seharusnya lebih dimodifikasi lagi, sehingga pangsa pasarnya tidak terbatas
pada kalangan NU saja, tetapi bisa menjadi sumbangan khazanah bagi sejarah dan
pemikiran Islam di Indonesia. Menurut Prof. Dr. H. Qodri A. Azizy, MA., wacana
yang ditawarkan dalam buku “Islam Ahlussunnah Waljamaah: Sejarah, Pemikiran,
dan Dinamika NU di Indonesia” yang akan diterbitkan PP LP Ma’arif NU, sebaiknya
perlu diperkaya dengan wawasan Ahlussunnah Waljama’ah versi Maturidiyah. Karena
selama ini, wawasan yang dikembangkan di lingkungan NU terlalu Asy’ariah-sentris.
Padahal, untuk urusan-urusan pemikiran dan kemajuan, lebih cocok merujuk pada paham
Maturidiyah. Menurutnya, sikap “jabariyah” warga NU selama ini, terutama
dalam urusan-urusan kemasyarakatan dan ekonomi-politik, sedikit banyak disebabkan
oleh pandangan dan ideoginya yang terlalu Asy’ariyah.
Sementara menurut Prof. Dr. H. Achmad Shodiki, SH, MA, paling
tidak ada dua hal yang perlu
dipertimbangkan oleh PP LP Ma’arif NU, yaitu: [1] Untuk memajukan pendidikan di
lingkungan NU, langkah pertama adalah dengan membuat pencitraan positif. Hal
inilah yang akan membuat LP Ma’arif NU mempunyai
tempat di hati masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan bagaimana menciptakan pamor terhadap
satuan-satuan pendidikan di lingkungan NU, sehingga terkesan membanggakan. Hal
ini bisa dilakukan dengan sosialisasi atau “marketing
issue” yang berkaitan dengan program-program pendidikan LP Ma’arif NU. Meskipun
demikian, yang lebih penting lagi adalah, bagaimana membenahi kualitas internal
lembaga pendidikan di lingkungan NU, baik secara organisasional maupun dalam
hal kegiatan belajar mengajar. Tentunya yang dilakukan di satuan-satuan
pendidikan NU, baik proses maupun program-program studi yang dijalankannya. Di
sinilah, lembaga pendidikan di lingkungan NU perlu mengembangkan
program-program studi yang berkaitan dengan teknologi modern, sekaligus sebagai
respon atas tuntutan dan kebutuhan masyarakat sekarang ini. [2] Adanya tiga
tipe satuan pendidikan NU, sebenarnya bukan masalah bagi Ma’arif NU. Karena hal
yang sama juga ditemukan di Muhammadiyah. Persoalannya adalah, bagaimana LP
Ma’arif NU bisa membuat regulasi keasetan dan manajeman yang harus dijalankan
di lingkungan pendidikan NU. Di samping itu, kalau memungkinkan, harus ada political will untuk secara tegas
melakukan akreditasi status “kema’arifan” dari satuan-satuan pendidikan yang
ada di lingkungan NU. Sebab, hanya dengan langkah inilah LP Ma’arif NU bisa
memetakan kualitas pendidikan di lingkungan NU.
Masalah lain yang cukup krusial adalah hubungan antara LP
Ma’arif NU dengan satuan-satuan pendidikan binaannya. Menurut Prof. Dr. H. Arif
Furqon, MA., selama ini memang belum bisa dijalankan peran dan fungsi
keterkaitan antara keduanya. LP Ma’arif NU sebagai payung organisasi pendidikan
di NU sebaiknya memulai langkah ini dengan memberikan kontrisbusi pada
marasah/sekolah ataupun perguruan tinggi binaannya. Kontribusi itu sendiri
tidak harus bersifat finansial, tetapi bisa dalam bentuk konsultasi atau
asistensi manajemen pengelolaan pendidikan di dalamnya. Hal ini juga
dikemukakan oleh Drs. H. Irfan, MA., bahwa selama ini masyarakat, terutama
warga nahdiyyin cenderung tidak memahami apa sesungguhnya makna keterkaitan
antara satuan pendidikan NU dengan LP Ma’arif NU—sebagai payung organisasi
pendidikan di lingkungan NU. Mereka juga kadang bertanya, apa yang bisa
diperoleh ketika mereka harus bergabung dan bernaung di bawah payung LP Ma’arif
NU. Bahkan, dengan berada di bawah payung Ma’arif NU, mungkin sebagian mereka
merasa bahwa kondisi sekolah atau madrasah tetap kurang bagus, seolah tidak ada
manfaat signifikan sebagaimana diharapkan, ketika bergabung dengan LP Ma’arif
NU. Membaca persoalan ini, LP Ma’arif NU seharusnya melakukan langkah-langkah
pendampingan (asistensi) dan advokasi kepada satuan-satuan binaannya. Sehingga
mereka bisa memahami betul, sekaligus merasakan manfaat yang signifikan ketika
mereka berafiliasi dengan Ma’arif NU.
Berkaitan dengan kenyataan adanya tiga model lembaga
pendidikan yang ada di lingkungan NU yang menjadi binaan Ma’arif NU, Prof. Dr.
H. Qodri A. Azizy, MA. berpendapat, bahwa pada dasarnya satuan pendidikan yang
bernaung di bawah Muhammadiyah-pun sama dengan yang bernaung di bawah Ma’arif,
dan tidak semuanya menjadi milik Muhammadiyah. Tetapi, ada hal yang membuat
satuan-satuan pendidikan Muhammadiyah amat terikat dengan organisasi induknya,
yaitu adanya sistem “akreditasi” dan “perlakukan” tertentu dari Muhammadiyah
terhadap satuan pendidikan binannya. Sehingga, hal itu memunculkan semacam kewajiban-kewajiban
tertentu yang harus dijalankan oleh satuan-satuan pendidikan di lingkungan
Muhammadiyah. Sebab, jika ada satuan pendidikan tidak memenuhi
kewajiban-kewajibannya, maka keterikatan itu lepas, dan Muhammadiyah-pun lepas
tanggungjawab untuk memberikan bantuan-bantuan dari satuan pendidikan tersebut.
Ketegasan sikap semacam inilah yang
membuat satuan-satuan pendidikan di Muhammadiyah berlomba-lomba untuk
mendapatkan pengakuan oleh organisasi induknya. Dalam konteks Ma’arif NU—dengan
segala kondisinya—sebenarnya bisa dilakukan upaya-upaya serupa, misalnya dengan
penyampaian informasi yang ada kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan,
baik berupa bantuan atau pun lainnya. Mungkin ini yang bisa dijadikan sebagai pengikat bagi
satuan-satuan pendidikan di lingkungan NU.
Untuk mewujudkan harapan warga nahdhiyyin, menurut KH. M.
Tholchah Hasan, LP Ma’arif NU perlu membuat prioritas pengembangan pendidikan
yang berjalan selama ini. Paling tidak, dibuat pengukuran capaian, misalnya
dalam jangka lima tahun mendatang, baik itu berkaiatan dengan pendidikan dasar,
menangah, ataupun pendidikan tinggi. Kemudian, beberapa faktor yang menjadi
penyebab kurang empatiknya masyarakat terhadap pendidikan Ma’arif NU, tidak
terkecuali masyarakat NU sendiri di antaranya adalah: [1] Di lingkungan
madrasah/sekolah, maupun perguruan tinggi di lingkungan NU masih terjadi salah
penempatan (miss-mact) di sana-sini, misalnya dari segi guru, dosen,
atau tenaga kependidikan lainnya. Banyak guru atau dosen menangani bidang
pelajaran atau mata kuliah yang sesungguhnya bukan disiplin yang dikuasainya.
[2] Kebanyakan warga nahdhiyyin adalah masyakarat kelas bawah (grass root) yang dalam hal pendidikan
tentu saja mengharapkan perbaikan-perbaikan ekonomis dan jaminan masa depan
yang menjanjikan. Sementara itu, kita membuka bidang-bidang pendidikan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan kebanyakan masyakarat. Pendidikan yang selama ini
tersedia di lingkungan NU terlalu didominasi oleh bidang-bidang agama,
khususnya bidang Tarbiyah (Pendidikan Agama Islam). Lebih parah lagi, bidang
yang tidak terlalu “marketable” ini
diurus dengan manajemen yang tidak efektif dan profesional. Karenanya, wajar
jika orang lebih memilih, misalnya bidang politeknik, akademi-akademi, karena
bidang-bidang tersebut lebih menjanjikan keahlian dan peluang kerja tertentu. [3]
LP Ma’arif NU sementara ini belum membudayakan profesionalisme dalam
pengelolaan (manejemen) satuan pendidikannya. Sehingga, hal ini kemudian
menjadikan LP Ma’arif NU tidak mempunyai standar yang jelas dalam menentukan
satuan pendidikan unggulan, menengah, dan rendah. Oleh karena itu, di masa
mendatang, paling tidak dalam jangka lima tahun ke depan, LP Ma’arif NU
hendaknya memprioritaskan program-programnya untuk membenahi masalah-masalah
tersebut.
Di samping itu, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. H.
Arif Furqon, MA., bahwa di masa-masa mendatang, LP Ma’arif NU harus bisa
membuat desain atau model pendidikan NU, tetntunya sesuai dengan yang
diharapkan oleh warganya. Dengan demikian, model, lulusan dan proses pendidikan
yang diidealkan NU, bisa dirumuskan dalam bentuk-bentuk yang nyata, sehingga
capaian yang dihasilkan bisa terukur. Jadi, peran LP Ma’arif NU tidak sebatas
pada penambahan kurikulum Ahlussunnah Waljama’ah dan Ke-NU-an saja, tetapi
harus integral dalam seluruh aspek pendidikan yang dijalankannya.
Drs. H. Abdurrahman Saleh, APU dalam hal ini lebih
melihat, bahwa berbagai pemikiran tersebut sebaiknya ditindaklanjuti dengan
pembentukan tim-tim kerja, terutama untuk membuat rumusan-rumusan program
kongkret yang akan dilakukan PP LP Ma’arif NU, bersama dengan lembaga-lembaga
lainnya. Adapun mengenai aspek pembiayaan kegiatan-kegiatan, bisa diupayakan dengan
penggalangan dana dari warga NU sendiri. Sebab, dengan aset warga yang cukup
banyak (sekitar 40 juta jiwa), LP Ma’arif NU seharusnya mampu membangkitkan
kesadaran warga nahdhiyyin untuk ikut ambil bagian dalam upaya memajukan
pendidikan di NU, melalui kontribusi dana secara gotong royong. Sebab, tanpa
dukungan finansial yang cukup, mustahil bagi LP Ma’arif NU untuk bisa berbuat
banyak dalam meningkatkan kualitas dan mutu pendidikannya. Di samping
menggalang dana sukarela dari masyarakat secara teratur, LP Ma’arif NU juga
harus menjaring para donatur tetap dari kalangan nahdliyin yang dari segi ekonomi termasuk golongan mampu.
Merespon Isu-Isu Strategis Pendidikan Nasional Mutakhir
I. Badan Hukum Pendidikan
Masalah Badan Hukum Pendidikan (BHP) belakangan ini
nampaknya menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Persoalan ini memang bukan
persoalan baru, barangkali bedanya sekarang ini memunculkan semacam nuansa baru
bagi dunia pendidikan nasional. Perbincangan tentang BHP semakin mencuat di
permukaan, seiring dengan mengorbitnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Dalam Bab XIV tentang pengelolaan pendidikan, terdapat
bagian khusus yang bejudul Badan Hukum Pendidikan. Istilah BHP, pertama kali
muncul dalam PP No 61/1999, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri (PTN),
yang didefinisikan sebagai badan hukum yang mengatur PTN berbadan hukum milik
negara, yang mengatur kelembagaan dan kewenangan perguruan tinggi (PT). BHP
dalam pengertian ini, meskipun tidak dijelaskan tentang kejelasan status hukum
dan wewenangnya dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, agaknya tidak terlalu
bermasalah bagi pendidikan-pendidikan swasta yang umumnya bernaung di bawah
yayasan.
Hal itu amat berbeda dengan apa yang disebutkan dalam UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Bab XIV pasal 53 disebutkan, bahwa:
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang
didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan
satuan pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan
Undang-undang tersendiri
Penjelasan tersebut disambut dengan respon yang beragam
oleh masyarakat, terutama di lingkungan pendidikan swasta. Sebab, pasal itu
mengesankan adanya ’generalisasi masalah’ yang mencerminkan keberlakuannya
secara umum, baik bagi lembaga pendidikan swasta maupun negeri. Padahal, kenyataan
di tengah masyarakat menunjukkan, bahwa lembaga-lembaga atau satuan pendidikan
itu mayoritas bernaung di bawah yayasan (swasta). Dari segi prinsip, BHP yang
dimaksud dalam UU tersebut sama dengan yayasan sebagai mana dijelaskan dalam UU
No. 16 tentang yayasan. Memang harus diakui, bahwa dalam dunia pendidikan kita,
terutama dalam lingkungan yayasan yang diprakarsai oleh banyak pihak, sering
terjadi ”benturan” atau tarik-menarik kepentingan dan kekuasaan (vested
interest) antara satuan pendidikan, dengan pihak yayasan yang menaunginya.
Sebagai pemilik yayasan merasa berhak untuk mencampuri masalah operasional
sampai yang ”se-teknis” mungkin. Hal itu kemudian membuat pihak pengelola satuan
pendidikan merasa ruang geraknya terlalu dibatasi, bahkan menyangkut wewenang
dan kebijakannya. Meskipun hal ini kadang-kadang dilandasi oleh sikap
kehati-hatian yayasan, tetapi seringkali hal itu memunculkan kesan tidak adanya kepercayaan (trust)
yayasan terhadap pengelola operasional dari satuan pendidikan yang bernaung di
bawahnya.
Lain halnya dengan lingkungan yayasan yang lebih mirip
dengan ”yayasan” milik keluarga, di manajemennya secara keseluruhan hanya
melibatkan sekelompok kerabat saja. Yayasan seperti ini terkadang terjerumus
pada kepentingan rent seeking and profit oriented meskipun
satuan pendidikan yang dikelolanya ditangani
secara professional dengan menggunakan pendidikan bermutu dan
berkualitas. Akibatnya, merebak apa yang disebut dengan ”komersialisasi
pendidikan”. Semakin banyak satuan pendidikan yang ditangani dengan cara
seperti ini, maka semakin besar jarak antara pendidikan dan masyarakat luas dan
menjadi sesuatu yang ”elitis”.
Masalah seperti ini barangkali tidak ditemukan dalam
lingkungan satuan pendidikan negeri di mana dukungan finansialnya dilakukan
oleh Pemerintah dan juga orang tua yang tergabung dalam Badan Pengelola
Penunjang Pendidikan (BP3), dan Persatuan orang tua dan Guru (POMG) atau
organisasi sejenisnya. Di sektor swasta, fasilitasi, dukungan financial dan
advokasi satuan pendidikan dilakukan oleh yayasan dengan dukungan donatur, dan
beberapa di antaranya sangat professional sehingga kualitas pendidikannya bisa
diandalkan. Pemberlakukan BHP bagi lingkungan pendidikan negeri barangkali
tidak terlalu bermasalah, karena Pemerintahlah yang memilikinya. Meski begitu
perlu dicatat bahwa dalam beberapa kasus hal ini justru mengundang reaksi
”miring” dari beberapa kalangan termasuk manajemen satuan pendidikan negeri
sendiri, terutama perguruan tinggi. Alasannya adalah bahwa dengan diterapkannya
BHP bagi satuan pendidikan tinggi, maka biaya pendidikan akan menjadi mahal,
karena dukungan finansial dari Pemerintah tentu tidak akan seperti sediakala.
Itulah sebabnya mengapa penerapan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi
perguruan-perguruan tinggi hingga saat ini masih berhadapan dengan berbagai
kendala baik internal maupun ekternal.
Kita tidak berada dalam posisi yang mendukung jika
didirikannya BHP bagi satuan pendidikan justru akan memperberat satuan
pendidikan itu sendiri, apalagi kemudian satuan pendidikan pada akhirnya
dianggap sebagai sebuah unit usaha yang diharuskan membayar pajak kepada
pemerintah sebagaimana layaknya perusahaan-perusahaan profit yang berorientrasi
bisnis. Ini sangat bertentangan dengan pronsip BHP sebagai lembaga nirlaba
seperti dijelaskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Jika demikian yang terjadi, maka BHP hanya akan dianggap sebagai
upaya untuk menghindari konsekuensi ketentuan yang berkaitan dengan ”yayasan”
yang prinsipnya adalah organisasi sosial nirlaba, di mana realitasnya saat ini
merupakan lembaga yang menaungi satuan-satuan pendidikan.
Tujuan dari BHP adalah agar akuntabilitas dan mutu
pendidikan yang dikelola oleh satuan pendidikan dapat lebih
dipertanggungjawabkan pada masyarakat. Sebagai pihak yang bertanggungjawab,
baik Pemerintah dan masyarakat tentu memerlukan kerjasama yang baik dan
simultan dalam menunjang upaya peningkatan mutu pendidikan dan kemandirian
pendidikan. Sebab, bagaimananpun Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) mensyaratkan
adanya kemandirian sekolah/madrasah/perguruan tinggi sebagai pihak yang
bersentuhan langsung dengan pengelolaan pendidikan. Dengan adanya BHP yang
mandiri, maka diharapkan pengelolaan pendidikan bisa lebih ditangani secara
lebih serius dan dengan demikian, peran masyarakat dalam pengelolaan satuan
pendidikan lebih bisa ditingkatkan.
Namun demikian, penyusunan UU BHP sebagai tindak lanjut
dari ketetapan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab IV Pasal 53 ayat 4,
harus mampu menjelaskan keharusan dan tidaknya lembaga-lembaga atau satuan
pendidikan swasta dan negeri untuk menjadikan keberadaanya di bawah badan yang
berbadan hukum pendidikan. Sebab kalau tidak, maka ruang perbedaan penafsiran
terhadap keharusan BHP akan semakin besar di masyarakat yang bisa saja nantinya
akan menimbulkan persoalan-porsoalan yang lebih besar bagi penyelenggaraan
pendidikan yang saat ini sedang berjalan.
Di samping itu, agaknya perlu juga diperhatikan adanya
beberapa persoalan yang akan muncul akibat diberlakukannya UU BHP nanti. Apakah
yayasan-yayasan ataupun dinas pendidikan di daerah sudah siap menjalankannya?
Seberapa besar tingkat kesiapan itu? Bagaimana dengan yayasan yang selama ini
memiliki banyak satuan pendidikan, bahkan dari tingkat pendidikan usia dini,
dasar, menengah dan perguruan tinggi?
Bukan penyelesaian masalah jika yayasan yang memiliki
satuan pendidikan saat ini kemudian harus berubah statusnya menjadi badan hukum
pendidikan. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana yayasan itu tetap eksis dan
menjalankn fungsinya sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Tahun 1999 tentang
yayasan (dengan mempertimbangkan berbagai usulan perubahannya). Bisa saja
nantinya, BHP bersifat independen dalam urusan pengelolaan pendidikan bagi
sebuah satuan pendidikan, sedangkan kepemilikian sarana dan pra sarana
merupakan tanggungjawab yayasan. Jadi tingkat independensi BHP adalah dalam hal
pengelolaan langsung menejemen pendidikan yang terangkum dalam konsep-konsep
manajemen berbasis sekolah. Namun, harus ada pemilahan yang jelas antara fungsi
Dewan Pendidikan, Komite Sekolah/Madrasah dengan BHP itu sendiri.
Atas dasar pemikiran seperti itu, maka jika setiap satuan
pendidikan diharuskan memiliki BHP relatif bisa diterima di masyarakat,
sekalipun, misalnya, sebuah yayasan yang menaungi banyak satuan pendidikan
harus membuatkan beberapa akte notaris untuk membentuk BHP bagi masing-masing
lembaga pendidikan yang dimilikinya. UU
BHP yang akan diberlakukan nantinya harus pula menyinggung posisi, fungsi,
wewenang, dan tanggungjawab yang harus diemban bersama antara yayasan, dewan
pendidikan, komite sekolah/madrasah/perguruan tinggi, dan BHP itu sendiri, demi
mengantisipasi kemungkinan timbulnya masalah-masalah yang menghambat
penyelenggaraan pendidikan di masyarakat saat ini.
II. Dukungan Dana dari Masyarakat untuk Pendidikan
Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Managemen, selanjutnya
ditulis MBS) dan Pendidikan Berbasis Masyarakat (Community Based Education,
selanjutnya ditulis PBM) merupakan dua hal yang satu sama lain tidak
bisa dipisahkan. MBS merupakan konsep di mana sekolah diberi keleluasaan dan
wewenang yang lebih besar dalam pengelolaan pendidikan. Sementara dalam konteks
PBM, penyelenggaraan pendidikan sangat mengandalkan tanggung jawab bersama di
lingkungan masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, masyarakat di
tuntut berperan aktif dalam proses pendidikan, baik moril maupun materil.
Sebab, untuk memajukan sektor pendidikan, diperlukan biaya yang tidak sedikit—bukan
berarti pendidikan harus diselenggarakan dengan biaya yang mahal. Oleh sebab
itu, secara konstitusional, UUD 1945 pasal 31 ayat (4) hasil amandemen
mengamanatkan, bahwa 20 % dari total APBN/APBD dialokasikan untuk sektor
pendidikan. Meskipun demikian, dengan melihat kenyataan sekarang—di mana bangsa
Indonesia belum sepenuhnya terlepas darti lilitan krisis—pemenuhan angka sebesar
itu nampaknya belum bisa dilakukan secara langsung. Berdasarkan Rapat Kerja Komisi VI DPR dengan
Mendiknas, Menkeu, dan Kepala Bappenas pada 16 Januari 2004, bahwa angka itu
baru bisa tercapai kira-kira tahun 2009. Ini karena beban yang harus ditanggung
negara terlampau berat. Jika saat ini anggaran pendidikan adalah 3,49 persen
dari total APBN atau sebesar 15,34 triliun, maka untuk memenuhi angka 20 %,
pemerintah harus menyediakan 87, 76 triliun. Padahal, di tahun 2004 ini, utang
yang harus dibayar pemerintah adalah sebesar 131,2 triliun atau 149 persen dari
anggaran pendidikan.
Dukungan moril dari masyarakat, dengan adanya otonomi
daerah, otonomi sekolah/madrasah, maupun perguruan tinggi, sedikit demi sedikit
mengalami peningkatan. Namun dari segi materil, partisipasi masyarakat
terbentur oleh tingkat kemampuan kontribusi ekonomi rata-rata mereka, sehingga
sulit untuk dilaksanakan, bahkan sampai pada satuan-satuan pendidikan negeri di
mana BP3 dan POMG belum bisa memberikan peran yang lebih berarti dalam hal
pendanaan.
Keharusan dibentuknya BHP bagi satuan-satuan pendidikan
pada dasanya akan menjadikan posisi masyarakat yang terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan negeri dan swasta menjadi sama. Artinya, BHP –di
satuan pendidikan negeri maupun swasta--yang dalam hal ini merupakan lembaga
independen yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan di
satuan-satuan pendidikan, memiliki ruang yang cukup besar dalam mengupayakan
pendanaan, fasilitasi, dan advokasi pendidikan. Masalahnya, dalam suasanan
krisis sekarang ini, sumber-sumber dana semakin berkurang dan tidak mudah
dicari. Sementara upaya peningkatan mutu pendidikan harus terus berjalan jika
masyarakat tidak mau ketinggalan.
Padahal hampir semua komponen menyepakati, bahwa sektor
pendidikan merupakan salah satu agenda priorotas dalam membangun bangsa. Dengan
demikian seharusnya ada upaya-upaya serius dari Pemerintah untuk membiayai
sektor ini di setiap lininya (dalam tenggang waktu menunggu angka 20% dari
total APBN tercapai). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan Pemerintah
dalam memberikan subsidi terhadap sektor pendidikan. Sektor-sektor lain yang
memiliki tingkat perkembangan yang lebih baik, bisa saja dilakukan subsidi dana
untuk alokasi pendidikan. Hasil pembayaran
pajak dari perusahaan-perusahaan besar misalnya, bisa saja sekian persen diberikan
untuk pendanaan pendidikan. Organisasi-organisasi nirlaba juga perlu memberikan
kepedulian yang berarti untuk memperbaiki pendidikan. Di sini bukan seberapa
besar alokasi yang diberikan untuk dunia pendidikan, yang terpenting adalah
kesinambungan upaya dalam menunjukkan sikap kepedulian terhadap masalah
pendidikan. Dengan demikian diharapkan kesadaran masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan agar bisa tumbuh lebih
baik. Dan di sini perlunya dipertimbangkan adanya pajak yang
dikhususkan untuk pendidikan.
Selain itu jika dipetakan, satuan-satuan pendidikan kita
(selain yang negeri), mempunyai afiliasi yang cukup kuat dengan organisasi,
perkumpulan, bahkan yayasan yang memiliki cukup banyak anggota, baik dalam
skala daerah (kabupaten/kota), wilayah (provinsi), bahkan nasional. Ini
artinya, bahwa ada peluang untuk melakukan koordinasi penggalangan dana dari
masyarakat dengan cara yang lebih efektif melalui organisasi, perkumpulan, atau
yayasan-yayasan tersebut untuk memajukan pendidikan. Banyaknya anggota yang
berada di dalam organisasi, perkumpulan, atau yayasan-yayasan tersebut
sebetulnya merupakan potensi yang amat besar untuk menggalang pendanaan
pendidikan. Organisasi-organisasi tersebut juga bisa bekerja sama dengan
pemerintah dalam mengkampanyekan pentingnya peningkatan mutu pendidikan bagi
bangsa Indonesia.
Di masyarakat Islam, kita bisa melihat misalnya,
Nahdlatul Ulama yang di lingkungan warganya ada begitu banyak satuan pendidikan
dari semua jenjang pendidikan, baik formal maupun non-formal. Begitu juga di
Muhammadiyah, Jam’iyah al-Washliyah, al-Irsyad, PUI, GUPPI, dan lain
sebagainya. Organisasi-organisasi ini agaknya bisa lebih efektif jika
memprioritaskan program kerjanya pada peningkatan mutu pendidikan di lingkungannya.
Di kalangan non-Islam, Katolik mempunyai tradisi yang cukup kuat dalam
memajukan pendidikannya, begitu seterusnya.
Oleh sebab itu, perlu ada kesepahaman di antara
organisasi dan perkumpulan-perkumpulan masyarakat yang ada untuk sama-sama mengupayakan
pendanaan bagi dunia pendidikan. Jika, organisasi dan perkumpulan-perkumpunan
yang ada mampu membangkitkan kesadaran warganya untuk berpartisipasi aktif
dalam pendanaan pendidikan, maka potensi ekonomi yang amat besar itu akan
sangat bermanfaat bagi penyelenggaraan pendidikan, serta terbangun komitmen
yang tinggi terhadap dunia pendidikan.
Pemerintah juga perlu memberi prioritas subsidi terhadap
satuan-satuan pendidikan swasta yang kondisinya masih mamprihatinkan. Tidak
perlu lagi ada pembedaan antara satuan pendidikan negeri dan swasta.
Peningkatan subsidi –sesuai dengan kemampuan yang ada—oleh pemerintah hendaknya
diwujudkan dalam bentuk hibah (blockgrant) secara signifikan dapat
diperuntukkan sebagai upaya ”recovery” bagi pendidikan-pendidikan swasta,
dengan memberdayakan organisasi-organisasi sosial yang bergerak di bidang
pendidikan (nirlaba) yang selama ini ada.
Di masa lampau, peran serta masyarakat lebih terlihat
dalam menyelenggarakan pendidikan dan bantuan pembiyaaan pendidikan melalui BP3.
Namun dalam ketentuan perundangan yang baru ini, peran masyarakat dapat
berbentuk sebagai sumber, pelaksana dan pengguna hasil pendidikan baik
dilakukan secara perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha,
maupun oleh organisasi kemasyarakan dalam menyelenggarakan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan.
Secara operasioal, dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pelayanan
dilakukan melaui dewan pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah. Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah/Madrasah mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana, pra-sarana, serta pengawasan
penyelenggaraan pendidikan. Dewan Pendidikan dibentuk pada tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota; sementara Komite Sekolah/Madrasah sebagai lembaga
mandiri, dibentuk dan berperan pada tingkat satuan pendidikan. Selanjutnya
masyarakat juga dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk memantau dan
melakukan evaluasi terhadap proses kemajuan dan perbaikan hasil belajar secara
berkala, menyeluruh, transparan dan sistemik untuk pencapaian standar nasional
pendidikan.
Dengan demikian, kerjasama antara Pemerintah dan
masyarakat, terutama melalui lembaga-lembaga pendidikan yang merupakan syarat
utama untuk memperbaiki penyelenggaraan dan kualitas mutu pendidikan dalam
penyelenggaraan pendidikan dapat diwujudkan.
II. Desentralisasi
Madrasah
Desentralisasi Madrasah merupakan wacana yang
berkembang sebagai dampak dari diberlakukannya sistem otonomi daerah yang perlu
mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Dalam hal ini PP LP Ma’arif NU mempunyai beberapa
catatan penting:
Pertama, sesuai dengan ketentuan
pasal 7 ayat (1) undang-undang no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah,
dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan
bidang lain.
Kedua, dengan demikian, seluruh bidang tugas
pemerintahan di bidang agama, yang selama ini menjadi tugas Departemen Agama,
adalah tugas pemerintahan (pusat) yang bersifat sentralistik, yang
pelaksanaannya di daerah dilaksanakan oleh perangkat pusat di daerah (Kantor
Wilayah dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota).
Ketiga, menjadi permasalahan, apakah
penyelenggaraan madrasah merupakan tugas di bidang agama atau tugas di bidang
pendidikan. Rapat Kerja Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama, secara
bulat berpendapat bahwa penyelenggaraan madrasah merupakan tugas di bidang
pendidikan.
Keempat, sebagai konsekuensi dari
pendapat yang demikian, Pimpinan Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul
Ulama menegaskan bahwa penyelenggaraan madrasah adalah kewenangan daerah,
dengan alasan antara lain: [1] Pembinaan penyelenggaraan madrasah merupakan
bidang tugas di bidang pendidikan; [2] Bidang tugas pendidikan adalah
kewenangan daerah. Oleh karena itu, penyelenggaraan madrasah juga kewenangan
daerah; [3] Agar tidak terjadi dualisme penyelenggaraan pendidikan; [4] Agar
madarasah tidak terisolasi, sehingga menjadi marjinal; [5] Agar sistem
mobilitas siswa dan pendayagunaan lulusan madrasah dapat berlangsung secara
optimal; [6] Agar perencanaan pendidikan lebih operasional dan pembiayaan serta
fasilitas yang diperlukan dapat lebih mencukupi kebutuhan pendidikan; [7] Agar
madrasah dapat mengejar ketertinggalan yang selama ini dialaminya, sehingga
dapat sejajar dan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lain; [8] Agar
madrasah tidak ditinggalkan masyarakat pendukungnya; dan [9] Pada daerah-daerah
yang belum siap melaksanakan antara lain karena PAD dalam DAU yang tersedia
belum mencukupi. Departemen agama agar memberikan pelayanan yang berkeadilan.
Tugas perbantuan dengan memberikan kepada daerah yang bersangkutan.
Kelima, mengenai kekhawatiran ciri
khas agama Islam di madrasah menjadi pudar yang pada gilirannya akan menjadi
sama dengan sekolah-sekolah lain di lingkungan Depdiknas. Hal tersebut tidak
akan terjadi karena dapat dijaga oleh instansi Departemen Agama di daerah,
mengingat pengembangan ciri khas agama Islam merupakan bagian dari substansi
agama yang memang menjadi tugas Departemen Agama.
Keenam, kewenangan pemerintah di
bidang agama, sesuai dengan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah, jelas menjadi tanggung jawab Departemen Agama. Dalam
hal ini, pemerintah (Departemen Agama) dapat melakukan dekonsentrasi,
yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah, atau dengan memberikan tugas
perbantuan, yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah untuk melaksanakan
tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya
manusia (SDM) dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi
madrasah pada daerah-daerah yang belum siap melaksanakan atau karena PAD atau
DAU yang tersedia tidak mencukupi untuk otonomi daerah, maka Departemen Agama
dapat mendukungnya dalam tugas perbantuan untuk pembiayaan penyelenggaraan
madrasah di daerahnya masing-masing.
Ketujuh, kebijaksanaan Departemen
Agama dalam hal desentralisasi madrasah sudah sangat mendesak. Kalangan
madrasah mengharapkan adanya petunjuk pelaksanaan (juklak) di daerah,
sekurang-kurangnya dalam bentuk edaran Menteri Agama tentang penyerahan
kewenangan penyelenggaraan madrasah kepada gubernur, bupati/walikota di seluruh
Indonesia.
III. Kurikulum
Diterbitkannya UU
No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 28 Tahun 1999 yang secara berturut-turut tentang
Otonomi Daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
(provinsi/kabupaten/kota), menandai terjadinya pergeseran yang amat mendasar
pada pola pemerintahan di Indonesia, yaitu dari model top-down (instruktif)
menjadi buttom-up (partisipatif). Hal ini merupakan bagian dari
perjuangan reformasi bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan di segala aspek
kehidupan, yang pada gilirannya banyak memberi pengaruh bagi kehidupan
berbangsa, tidak hanya dalam sektor penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga
semua aspek kehidupan termasuk pendikan. Oleh sebab itu, momentum tersebut
menjadi kesempatan strategis dan menjadi starting point yang cukup tepat
untuk melakukan pembenahan-pembenahan terhadap sektor pendidikan.
Upaya-upaya yang
dilakukan oleh sebagian besar masyakarat untuk meningkatkan kualitasi
pendidikan sejak bergulirnya era reformasi bukan hanya dilatarbelakangi
munculnya kesadaran akan rendahnya mutu produk lembaga-lembaga pendidikan yang
ada dibandingkan dengan negara-negara lain. Ada faktor yang cukup fundamental
yaitu terbangunnya keyakinan masyarakat, bahwa upaya untuk bangkit dari
keterpurukan krisis multidimensional yang berawal pada medio 1997-an yang lalu,
harus dimulai dari dunia pendidikan.
Upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan dalam konteks ini sesungguhnya memperolah
kesempatan yang jauh lebih besar di banding pada masa Orde Baru.
Diberlakukannya produk undang-undang pemerintah daerah adalah satu sinyalemen,
bahwa sekarang ini pemerintah daerah, baik pada tingkat provinsi ataupun
kabupaten/kota memiliki keleluasaan dalam mengelola dunia pendidikan sendiri,
tanpa harus selalu dikendalikan secara penuh oleh pemerintah pusat. Kondisi ini
dengan sendirinya memberikan beberapa keuntungan dan peluang yang lebih besar
bagi peningkatan mutu pendidikan di setiap daerah, dan secara khusus
peningkatan SDM putra daerah. Pemerintah daerah dapat lebih leluasa memberikan
kontrol, baik pada taraf proses ataupun hasil pendidikan di daerahnya. Di
samping pada sisi lain, pemerintah daerah lebih leluasa mengeluarkan kebijakan
pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan (needs), tuntutan,
aspirasi, lokalitas sosial dan budaya daerahnya.
UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga memberikan peluang
yang cukup besar bagi penyelenggara kegiatan pendidikan untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Sebab, produk undang-undang tersebut memberikan ruang partisipasi
yang cukup lebar bagi masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan, sesuai
dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat sekitar.
Yang langsung
berkaitan langsung dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) adalah bahwa pada
tahun 2004 akan diberlakukan kurikulum baru yang lazim disebut Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK). Sejauh mana efektifitas pemberlakukan kurikulum ini,
memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mengujinya. Sebab, untuk
memberlakukan kurikulum semacam itu tentu harus ada kesiapan yang solid di
kalangan guru maupun siswa, di samping tentunya perangkat penungjang kegiatan
pendidikan lainnya. Maka, langkah awal yang tepat untuk mengefektifkan
kurikulum tersebut adalah dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia
yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya guru dan siswa.
Pengurus Pusat
Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (PP LP Ma’arif NU) sebagai bagian
dari elemen bangsa, concern pada upaya pencerdasan bangsa dan penanaman
nilai-nilai kemanusiaan yang berakar dari semangat religiusitas dan kearifan
kultural. Melalui koordinasi penyelenggaraan pendidikan dari mulai tingkat
dasar, sampai perguruan tinggi di seluruh Indonesia, PP LP Ma'arif NU dari awal
komitmen dan mendukung sepenuhnya upaya peningkatan mutu pendidikan nasional.
Upaya peningkatan mutu pendidikan, tidak cukup sekedar menelorkan produk
perundang-undangan tertentu atau konsepsi pendidikan yang matang, tapi juga
bagaimana mengejewantahkan itu semua dalam proses penyelenggaraannya.
Karena itu, PP LP
Ma'arif NU melihat bahwa untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, salah
satu langkah strategis dan fungsional adalah adanya pemberdayaan seluruh
perangkat pendidikan (brainware, software dan hardware) yang
dimiliki untuk diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan yang sasarannya
adalah mempersiapkan generasi muda yang memiliki kompetensi (akademik,
keterampilan, kepribadian, spiritualitas atau penghayatan terhadap ajaran
agama) dan ketakwaan terhadap Tuhan YME yang diwujudkan dalam sikap dan keterampilan
hidup (life skills) di tengah masyarakat.
Kegagalan
pendidikan kita disebabkan salah satunya oleh kurikulum yang terlalu
mengandalkan input, dan melaupakan proses serta input seperti apa yang ingin
dicapai dari kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di lembaga-lembaga
pendidikan. Inilah ssesungguhnya yang hendak dicapai dari apa yang populer saat
ini dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum Berbasis
Kompetensi seharusnya mampu merangkum kebutuhan-kebutuhan anak didik, baik di
masa sekarang maupun di masa mendatang. Di samping itu, kurikulum juga harus
mampu mengarahkan pada pengembangan kepribadian peserta didik menjadi insan
religius, pluralis, humanis, dan bermartabat.
Menyikapi hal
ini, di samping menyusun strategi untuk berperan aktif dalam proses-proses
perumusan kebijakan berkaitan dengan Kurikulum Nasional, LP Ma’arif NU juga
sedang melakukan perbaikan-perbaikan terhadap kurikulum Ahlussunnah Waljama’ah
yang selama ini diberikan secara internal pada satuan-satuan pendidikan Ma’arif
NU. Langkah pertama yang dilakukan LP Ma’arif NU adalah dengan membuat buku
sumber yang memuat spektrum pemikiran Ahlussunah Waljama’ah dan ke-NU-an secara
keseluruhan yang diberikan kepada peserta didik di satuan-satuan pendidikan
Ma’arif NU. Dalam sisa waktu masa khidmah 1999-2004, Insya Allah sudah dibuat
GBPP untuk kurikulum Ahlussunnah Waljama’ah dan ke-NU-an yang akan diberlakukan
secara nasional. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar