Senin, 08 September 2014

Khazanah Nahdlotul Ulama'



Khazanah
MEMBINCANG ISU-ISU STRATEGIS PENDIDIKAN NU:
MENUJU PENDIDIKAN BERMUTU

Laporan Redaksi


Mukaddimah
Sebagai organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dalam perjalanannya telah banyak mengukir prestasi membanggakan di berbagai aspeknya. Bahkan, lahirnya Indonesia itu sendiri salah satunya dibidani oleh kiprah warganya dalam merebut kemerdekaan dari cengkeraman kekuasaan tentara kolonial. Makanya, tak heran jika posisi warga nahdliyin—yang selalu dicitrakan tradisionalis ini—ternyata diperhitungkan di antara organisasi-organisasi selevelnya. Di samping tentu saja selalu mewarnai perjalanan bangsa selanjutnya.
Peran warga nahdliyin yang begitu besar tersebut tentu bukanlah hasil yang instan, melainkan proses panjang yang telah dihadapi dalam setiap babak-babak sejarahnya. Tidak sedikit aral yang merintangi lokomotif organisasi ini, tetapi hal itu justru semakin mematangkan epistemologi dan gerak maju warganya untuk terus mewarnai dan mengukir kebanggaan bagi bangsanya. Kalau demikian, apa sesungguhnya yang melatari Nahdlatul Ulama, hingga sedemikian konsistennya dalam mengawal proses pembangunan bangsa di semua perniknya, termasuk yang paling penting dalam sebuah bangunan negara-bangsa (nation-state), yaitu dalam pembangunan moral dan akhlaqul karimah (moral building) warga negara? Pertanyaan inilah yang sekilas akan dikupas dalam rubrik ini. Asumsinya adalah, bahwa faktor yang sangat penting dalam proses pembangunan bangsa adalah sumbangsih NU dalam mempersiapkan sumber daya manusia (human resource) yang berkualitas dan berakhlakul karimah. Fungsi inilah yang selama ini diperankan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di sekian banyak basis nahdhiyyin di seluruh Indonesia. Dalam konteks inilah, PP LP Ma’arif NU adalah lokomotif yang berada pada garda terdepan pendidikan NU, baik dalam pengertian kultural maupun struktural.
Melihat betapa pentingnya aspek pendidikan, tentu saja persoalan-persoalan menyangkut pendidikan, secara langsung juga menjadi hal yang mutlak diselesaikan. Oleh karena itu, rubrik ini secara khusus menampilkan diskursus menyangkut isu-isu strategis dunia pendidikan mutakhir, terutama yang berada di lingkungan PP LP Ma’arif NU.

Menyambut Muktamar PBNU XXXI, Solo, Jawa Tengah
Pada bulan November 2004 di Solo, Jawa Tengah, Muktamar PBNU XXXI kembali digelar. Berbeda dengan forum basa-basi yang biasanya berlangsung di warung kopi, momentum Muktamar selalu menyajikan menu yang begitu beragam dan serius. Tapi jangan salah, ini bukan soal makanan, melainkan sederetan daftar masalah yang akan didilahap habis para pesertanya. Forum istimewa dan yang diistimewakan warga nahdhiyyin ini, memang selalu ditunggu-tunggu hasilnya. Pasalnya, ritualitas organisasi yang diselenggarakan lima tahunan ini memang sejak awal diharapakan menghasilkan produk-produk pemikiran segar yang mampu menjawab pelbagai problem keagamaan dan sekalius sosial-kemasyarakatan yang merajam selama lebih dari lima tahun terakhir. Menariknya, Muktamar bukan sekedar ritualitas organisasi untuk mengganti kepengurusan lama, dengan kepengurusan baru. Lebih dari itu, Muktamar menjadi momentum strategis dalam menyingkap problem kebangsaan mutakhir. Untuk selanjutnya, para peserta secara bersama-sama membincang ulang problem yang mengemuka, dan pada akhirnya dicarikan solusinya.
Salah satu yang menjadi agenda penting dalam Muktamar adalah membincang isu-isu strategis menyangkut dunia pendidikan di lingkungan NU—dalam hal ini yang menjadi tanggung jawab PP LP Ma’arif NU. Sebab, diakui ataupun tidak pendidikan menjadi problem akut yang menjadi keprihatinan banyak pihak, bukan hanya di kalangan internal NU, melainkan juga secara umum bagi seluruh elemen bangsa. Sehingga, forum Muktamar dianggap sebagai ruang yang paling strategis bagi upaya pemecahan masalah pendidikan, utamanya yang selama ini menggurita di lingkungan NU.

Pendidikan NU dalam Perspektif
Dalam konteks inilah, belum lama ini PP LP Ma’arif NU (28/07/2004) mengadakan forum silaturrahim pendidikan dengan tajuk, ”Menyambut Tahun Mutu Pendidikan 2005”. Forum yang dihadiri oleh banyak komponen ini, yaitu di antaranya oleh pengurus PBNU, pengurus PP LP Maa’rif NU, unsur Depdiknas, unsur Depag, dan lainnya, membincang banyak hal menyangkut kondisi obyektif dunia pendidikan, utamanya lembaga-lembaga pendidikan yang berada di lingkungan NU. Di antaranya, seperti diungkapkan Drs. Nadjid Muchtar, MA. (Ketua Umum PP LP Ma’arif NU), bahwa berbagai kebijakan pendidikan yang dikeluarkan PP LP Ma’arif NU, terkait dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, pada dasarnya baru mulai pada taraf sosialisasi. Tentu saja langkah ini ke depan perlu ditindaklanjuti dengan menciptakan kondisi atau suasana kependidikan yang efektif dan efisien yang secara langsung dialami satuan-satuan pendidikan yang ada di lingkungan NU. Beberapa hal yang menjadi kendala yang sekarang dirasakan PP LP Ma’arif NU dalam meningkatkan mutu pendidikan adalah: [1] ketersediaan dana yang sangat minim, [2] masih lemahnya konsolidasi organisasi dan pola hubungan kelembagaan pendidikan antara pengurus Ma’arif dengan penyelenggara satuan pendidikan di bawah naungan Ma’arif, serta [3] mutu sumber daya manusia (human resource) yang belum memadai, di samping persebarannya juga belum merata.
Mengomentari apa yang disebutkan ketua umum PP LP Ma’arif NU di atas, KH. M. Tholchah Hasan memandang, bahwa selama ini NU nampaknya mengalami ketidakseimbangan dalam memandang tokoh-tokohnya sendiri. Dalam arti, secara organisasional NU cenderung membatasi komunikasi formal maupun non-formal, hanya pada sektor-sektor struktural an sich. Padahal, sebetulnya banyak sekali kekuatan NU yang bisa diharapkan kontribusinya bagi pelaksanaan program-program keagamaan dan kemasyarakatan NU, yang di antaranya adalah pada bidang pendidikan. Ke depan, NU lebih baik menyibukkan dirinya dengan persoalan-persoalan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan warganya. Ini bisa dilakukan salah satunya dengan mengurangi arus keterlibatan NU dalam politik kekuasaan atau politik praktis. PP LP Ma’arif NU masa bakti 1999-2004, memang telah mampu membuat jarak dengan “kekuasaan” sehingga tidak menyibukkan dirinya ke dalam kepentingan-kepentingan politik praktis. Yang dilakukan PP LP Ma’arif NU selama ini merupakan terobosan baru dalam melakukan komunikasi dan konsolidasi organisasi dengan kekuatan-kekuatan non-struktural NU. Oleh karena itu, hal ini perlu dicontoh oleh lembaga-lembaga lainnya di lingkungan NU.
Dalam konteks peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU, PP LP Ma’arif ke depan seharusnya lebih mempunyai gagasan-gagasan yang lebih berani. Sebab, selama ini kondisi pendidikan di lingkungan NU masih terasa timpang, dalam arti, bahwa bidang-bidang yang dikembangkan masih melulu religio-centris (berpusat pada kajian-kajian agama). Padahal, tuntutan masyarakat sekarang ini bukan hanya pada disiplin agama, melainkan yang juga tidak kalah penting adalah pengembangan bidang-bidang yang diorientasikan pada penguasaan sains dan tekhnologi. Dari beberapa perguruan tinggi yang ada, misalanya, terasa betapa dominannya fakultas Tarbiyah dengan jurusan atau program studi Pendidikan Agama Islam dan semacamnya. Bidang-bidang penting yang menjadi prasyarat kemajuan ilmu pengetahuan modern terkesan diabaikan. Oleh karena itu, perlu keberanian untuk melakukan perombakan visi pendidikan di lingkungan NU. Di beberapa kalangan di lingkungan NU sesungguhnya mulai tumbuh semangat untuk melakukan hal itu. Sebagai contoh, di Banjarmasin ada salah satu tokoh NU yang dengan perjuangannya bisa membangun gedung baru senilai kurang lebih 3 (tiga) miliar dan menurutnya bangunan itu kemudian akan digunakan sebagai perguruan tinggi yang membuka bidang-bidang ilmu pengetahuan modern yang diharapkan mampu membangkitkan gairah kader-kader terpelajar NU dalam mengambangkan potensi dan keterampilannya, sehingga menjadi manusia unggulan di bidang teknologi, dengan tanpa tercerabut dari nilai-nilai agama.
Sementara dalam amatan Prof. Dr. H. Qodri A. Azizy, MA, bahwa yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana merumuskan masalah-masalah yang berkaitan dengan politik pendidikan. Hal ini terutama karena selama ini banyak masalah pendidikan yang belum terselesaikan, misalnya soal desentralisasi madrasah, soal penyatuan institusi pemerintah yang menangani pendidikan, yakni apakah semua satuan pendidikan mesti disatukan dalam satu atap dengan institusi pemerintah, dan lain sebagainya. Dalam melihat masalah-masalah tersebut, sepertinya belum ada sikap dan visi yang sama di lingkugan NU. PP LP Ma’arif NU misalnya, setuju dalam hal desentralisasi madrasah, tetapi bagaimana sikapnya dengan masalah penyatuan atap. Dalam situasi kebimbangan semacam ini, semestinya tidak perlu ada tokoh-tokoh NU yang terlalu berani mendukung atau menolak penyatuan atap antara madrasah dan sekolah, sebelum PP LP Ma’arif NU mempunyai sikap yang tegas mengenai persoalan ini. Dari situ kemudian, PP LP Ma’arif NU ke depan perlu dibuat “master-plan” pendidikan yang baku. Dari sinilah, perlu juga dibuat proyek percontohan sekolah/madrasah dan perguruan tinggi di setiap daerah yang membuka program-program studi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern atau program yang bisa memberi bekal keterampilan hidup (life skill) bagi para lulusannya. Banyaknya sekolah tinggi agama yang mendominasi lembaga pendidikan NU saat ini, ternyata menimbulkan masalah tersendiri yang perlu segera diatasi. Bahkan, bila perlu dilakukan merjer di antara beberapa sekolah tinggi agama yang ada di lingkungan NU, kemudian mengkonsentrasikan pada pengembangan program-program studi lainnya.
Di samping itu, PP LP Ma’arif NU harus segera melakukan upaya penataan aset pendidikan yang dimilikinya. Sebab, banyak lembaga-lembaga pendidikan yang konon semula dimiliki atau manajemennya diatur oleh Ma’arif, tetapi  sekarang tidak jelas statusnya. Untuk memajukan sektor pendidikan, maka sarana dan pra sarana semacam ini seharusnya ditata ulang. sehingga bisa menjadi modal besar bagi organisasi untuk memajukan program-program pendidikan.
Mengamati persoalan pendidikan di lingkungan NU, Dr. Bahrul Hayat (Direktur Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas RI) barangkali lebih melihat dari sisi lain. Baginya, ada beberapa hal yang terkait dengan program-program PP LP Ma’arif NU yang berkaitan erat dengan Depdiknas dan Depag RI. Oleh karena itu, ditandatanginya Memorandum of Understandibng (MoU) atau nota kesepahaman tentang peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU, yaitu antara PP LP Ma’arif NU, Ditjen Dikdasmen Depdiknas RI, dan Ditjen Bagai Depag RI, pada 10 Pebruari 2004 yang lalu, sebaiknya perlu segera ditindaklanjuti dengan program-program konkret yang bisa dilakukan bersama oleh ketiga lembaga tersebut. Langkah pertama adalah dengan membuat rencana kegiatan dalam rentang waktu hingga bulan Nopember 2004. Kemudian segera dijadwalkan pertemuan antara pihak-pihak yang menandatangi MoU tersebut. Sehingga, dalam pertemuan itu, nantinya dibicarakan berbagai kegiatan yang bisa dikerjasamakan, misalnya seminar pendidikan, workshop peningkatan SDM kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya. Hal senada juga dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Arif Furqon, MA., bahwa sebenarnya banyak sekali pihak-pihak di luar struktur NU yang siap memberikan kontribusi pada pelaksanaan program-program LP Ma’arif NU, terutama dari lingkungan Depdiknas RI maupun Depag RI.  Namun demikian, hal itu tentu harus dilakukan dengan cara-cara yang legal atau formal menurut aturan main yang ada. MoU yang ditandatangani PP LP Ma’arif NU, Depdiknas RI, dan Depad RI bisa dijadikan sebagai payung untuk memperoleh bantuan dari instansi yang bersangkutan untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan Ma’arif NU. Kita harus mulai memperlebar komunikasi kita dengan orang-orang NU yang berada di luar struktur NU, sebagaimana disinggung oleh Bapak KH. M. Tholchah Hasan. Sebab, pada dasarnya mereka juga mempunyai visi dan misi yang sama dengan NU dan siap berjuang untuk kepentingan NU. Untuk bisa mewujudkan kerjasama yang baik dengan lembaga-lembaga terkait, LP Ma’arif NU diharapkan mempunyai rencana strategis (renstra) yang terukur dan aplicable, yang bersifat praktis dan teknis sehingga bisa dilakukan secara nyata, bukan yang bersifat muluk-muluk yang jauh dari jangkauan masyarakat kita (nahdliyin). Renstra itulah kemudian yang menjadi rujukan bagi pihak-pihak yang terkait untuk melakukan langkah-langkah peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU.
Bagi Drs. HM. Suparta, MA., hingga saat ini persoalan pendidikan di lingkungan NU memang terasa berat. Betapa sulitnya memajukan sektor pendidikan di lingkungan NU. Tetapi hal itu bukan alasan untuk berhenti berupaya. Barangkali, sulitnya memajukan sektor pendidikan di lingkungan NU kira-kira sama dengan sulitnya Muhammadiyah mendirikan pesantren. Namun, semua itu tentu bisa diatasi dengan kerjasama antar warga NU maupun dengan pihak-pihak lain yang memperhatikan masalah pendidikan, terutama instansi pemerintah (Depdiknas dan Depag). Untuk itu, perlu perhatian dan kepedulian yang dalam di kalangan warga NU yang mempunyai akses kebijakan di lingkungan pemerintah. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU,  PP LP Ma’arif NU sekarang ini sedang melakukan penyempurnaan materi dan penerbitan buku-buku Ahlussunnah Waljama’ah dan ke-NU-an. Bahkan, buku tersebut seharusnya lebih dimodifikasi lagi, sehingga pangsa pasarnya tidak terbatas pada kalangan NU saja, tetapi bisa menjadi sumbangan khazanah bagi sejarah dan pemikiran Islam di Indonesia. Menurut Prof. Dr. H. Qodri A. Azizy, MA., wacana yang ditawarkan dalam buku “Islam Ahlussunnah Waljamaah: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia” yang akan diterbitkan PP LP Ma’arif NU, sebaiknya perlu diperkaya dengan wawasan Ahlussunnah Waljama’ah versi Maturidiyah. Karena selama ini, wawasan yang dikembangkan di lingkungan NU terlalu Asy’ariah-sentris. Padahal, untuk urusan-urusan pemikiran dan kemajuan, lebih cocok merujuk pada paham Maturidiyah. Menurutnya, sikap “jabariyah” warga NU selama ini, terutama dalam urusan-urusan kemasyarakatan dan ekonomi-politik, sedikit banyak disebabkan oleh pandangan dan ideoginya yang terlalu Asy’ariyah.
Sementara menurut Prof. Dr. H. Achmad Shodiki, SH, MA, paling tidak  ada dua hal yang perlu dipertimbangkan oleh PP LP Ma’arif NU, yaitu: [1] Untuk memajukan pendidikan di lingkungan NU, langkah pertama adalah dengan membuat pencitraan positif. Hal inilah yang akan membuat  LP Ma’arif NU mempunyai tempat di hati masyarakat. Oleh karena itu,  perlu diupayakan bagaimana menciptakan pamor terhadap satuan-satuan pendidikan di lingkungan NU, sehingga terkesan membanggakan. Hal ini bisa dilakukan dengan sosialisasi atau “marketing issue” yang berkaitan dengan program-program pendidikan LP Ma’arif NU. Meskipun demikian, yang lebih penting lagi adalah, bagaimana membenahi kualitas internal lembaga pendidikan di lingkungan NU, baik secara organisasional maupun dalam hal kegiatan belajar mengajar. Tentunya yang dilakukan di satuan-satuan pendidikan NU, baik proses maupun program-program studi yang dijalankannya. Di sinilah, lembaga pendidikan di lingkungan NU perlu mengembangkan program-program studi yang berkaitan dengan teknologi modern, sekaligus sebagai respon atas tuntutan dan kebutuhan masyarakat sekarang ini. [2] Adanya tiga tipe satuan pendidikan NU, sebenarnya bukan masalah bagi Ma’arif NU. Karena hal yang sama juga ditemukan di Muhammadiyah. Persoalannya adalah, bagaimana LP Ma’arif NU bisa membuat regulasi keasetan dan manajeman yang harus dijalankan di lingkungan pendidikan NU. Di samping itu, kalau memungkinkan, harus ada political will untuk secara tegas melakukan akreditasi status “kema’arifan” dari satuan-satuan pendidikan yang ada di lingkungan NU. Sebab, hanya dengan langkah inilah LP Ma’arif NU bisa memetakan kualitas pendidikan di lingkungan NU.
Masalah lain yang cukup krusial adalah hubungan antara LP Ma’arif NU dengan satuan-satuan pendidikan binaannya. Menurut Prof. Dr. H. Arif Furqon, MA., selama ini memang belum bisa dijalankan peran dan fungsi keterkaitan antara keduanya. LP Ma’arif NU sebagai payung organisasi pendidikan di NU sebaiknya memulai langkah ini dengan memberikan kontrisbusi pada marasah/sekolah ataupun perguruan tinggi binaannya. Kontribusi itu sendiri tidak harus bersifat finansial, tetapi bisa dalam bentuk konsultasi atau asistensi manajemen pengelolaan pendidikan di dalamnya. Hal ini juga dikemukakan oleh Drs. H. Irfan, MA., bahwa selama ini masyarakat, terutama warga nahdiyyin cenderung tidak memahami apa sesungguhnya makna keterkaitan antara satuan pendidikan NU dengan LP Ma’arif NU—sebagai payung organisasi pendidikan di lingkungan NU. Mereka juga kadang bertanya, apa yang bisa diperoleh ketika mereka harus bergabung dan bernaung di bawah payung LP Ma’arif NU. Bahkan, dengan berada di bawah payung Ma’arif NU, mungkin sebagian mereka merasa bahwa kondisi sekolah atau madrasah tetap kurang bagus, seolah tidak ada manfaat signifikan sebagaimana diharapkan, ketika bergabung dengan LP Ma’arif NU. Membaca persoalan ini, LP Ma’arif NU seharusnya melakukan langkah-langkah pendampingan (asistensi) dan advokasi kepada satuan-satuan binaannya. Sehingga mereka bisa memahami betul, sekaligus merasakan manfaat yang signifikan ketika mereka berafiliasi dengan Ma’arif NU.
Berkaitan dengan kenyataan adanya tiga model lembaga pendidikan yang ada di lingkungan NU yang menjadi binaan Ma’arif NU, Prof. Dr. H. Qodri A. Azizy, MA. berpendapat, bahwa pada dasarnya satuan pendidikan yang bernaung di bawah Muhammadiyah-pun sama dengan yang bernaung di bawah Ma’arif, dan tidak semuanya menjadi milik Muhammadiyah. Tetapi, ada hal yang membuat satuan-satuan pendidikan Muhammadiyah amat terikat dengan organisasi induknya, yaitu adanya sistem “akreditasi” dan “perlakukan” tertentu dari Muhammadiyah terhadap satuan pendidikan binannya. Sehingga, hal itu memunculkan semacam kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dijalankan oleh satuan-satuan pendidikan di lingkungan Muhammadiyah. Sebab, jika ada satuan pendidikan tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, maka keterikatan itu lepas, dan Muhammadiyah-pun lepas tanggungjawab untuk memberikan bantuan-bantuan dari satuan pendidikan tersebut. Ketegasan sikap semacam inilah yang membuat satuan-satuan pendidikan di Muhammadiyah berlomba-lomba untuk mendapatkan pengakuan oleh organisasi induknya. Dalam konteks Ma’arif NU—dengan segala kondisinya—sebenarnya bisa dilakukan upaya-upaya serupa, misalnya dengan penyampaian informasi yang ada kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan, baik berupa bantuan atau pun lainnya. Mungkin ini yang bisa dijadikan sebagai pengikat bagi satuan-satuan pendidikan di lingkungan NU.
Untuk mewujudkan harapan warga nahdhiyyin, menurut KH. M. Tholchah Hasan, LP Ma’arif NU perlu membuat prioritas pengembangan pendidikan yang berjalan selama ini. Paling tidak, dibuat pengukuran capaian, misalnya dalam jangka lima tahun mendatang, baik itu berkaiatan dengan pendidikan dasar, menangah, ataupun pendidikan tinggi. Kemudian, beberapa faktor yang menjadi penyebab kurang empatiknya masyarakat terhadap pendidikan Ma’arif NU, tidak terkecuali masyarakat NU sendiri di antaranya adalah: [1] Di lingkungan madrasah/sekolah, maupun perguruan tinggi di lingkungan NU masih terjadi salah penempatan (miss-mact) di sana-sini, misalnya dari segi guru, dosen, atau tenaga kependidikan lainnya. Banyak guru atau dosen menangani bidang pelajaran atau mata kuliah yang sesungguhnya bukan disiplin yang dikuasainya. [2] Kebanyakan warga nahdhiyyin adalah masyakarat kelas bawah (grass root) yang dalam hal pendidikan tentu saja mengharapkan perbaikan-perbaikan ekonomis dan jaminan masa depan yang menjanjikan. Sementara itu, kita membuka bidang-bidang pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan kebanyakan masyakarat. Pendidikan yang selama ini tersedia di lingkungan NU terlalu didominasi oleh bidang-bidang agama, khususnya bidang Tarbiyah (Pendidikan Agama Islam). Lebih parah lagi, bidang yang tidak terlalu “marketable” ini diurus dengan manajemen yang tidak efektif dan profesional. Karenanya, wajar jika orang lebih memilih, misalnya bidang politeknik, akademi-akademi, karena bidang-bidang tersebut lebih menjanjikan keahlian dan peluang kerja tertentu. [3] LP Ma’arif NU sementara ini belum membudayakan profesionalisme dalam pengelolaan (manejemen) satuan pendidikannya. Sehingga, hal ini kemudian menjadikan LP Ma’arif NU tidak mempunyai standar yang jelas dalam menentukan satuan pendidikan unggulan, menengah, dan rendah. Oleh karena itu, di masa mendatang, paling tidak dalam jangka lima tahun ke depan, LP Ma’arif NU hendaknya memprioritaskan program-programnya untuk membenahi masalah-masalah tersebut.
Di samping itu, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Arif Furqon, MA., bahwa di masa-masa mendatang, LP Ma’arif NU harus bisa membuat desain atau model pendidikan NU, tetntunya sesuai dengan yang diharapkan oleh warganya. Dengan demikian, model, lulusan dan proses pendidikan yang diidealkan NU, bisa dirumuskan dalam bentuk-bentuk yang nyata, sehingga capaian yang dihasilkan bisa terukur. Jadi, peran LP Ma’arif NU tidak sebatas pada penambahan kurikulum Ahlussunnah Waljama’ah dan Ke-NU-an saja, tetapi harus integral dalam seluruh aspek pendidikan yang dijalankannya.
Drs. H. Abdurrahman Saleh, APU dalam hal ini lebih melihat, bahwa berbagai pemikiran tersebut sebaiknya ditindaklanjuti dengan pembentukan tim-tim kerja, terutama untuk membuat rumusan-rumusan program kongkret yang akan dilakukan PP LP Ma’arif NU, bersama dengan lembaga-lembaga lainnya. Adapun mengenai aspek pembiayaan kegiatan-kegiatan, bisa diupayakan dengan penggalangan dana dari warga NU sendiri. Sebab, dengan aset warga yang cukup banyak (sekitar 40 juta jiwa), LP Ma’arif NU seharusnya mampu membangkitkan kesadaran warga nahdhiyyin untuk ikut ambil bagian dalam upaya memajukan pendidikan di NU, melalui kontribusi dana secara gotong royong. Sebab, tanpa dukungan finansial yang cukup, mustahil bagi LP Ma’arif NU untuk bisa berbuat banyak dalam meningkatkan kualitas dan mutu pendidikannya. Di samping menggalang dana sukarela dari masyarakat secara teratur, LP Ma’arif NU juga harus menjaring para donatur tetap dari kalangan nahdliyin yang dari segi ekonomi termasuk golongan mampu.

Merespon Isu-Isu Strategis Pendidikan Nasional Mutakhir
I. Badan Hukum Pendidikan
Masalah Badan Hukum Pendidikan (BHP) belakangan ini nampaknya menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Persoalan ini memang bukan persoalan baru, barangkali bedanya sekarang ini memunculkan semacam nuansa baru bagi dunia pendidikan nasional. Perbincangan tentang BHP semakin mencuat di permukaan, seiring dengan mengorbitnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Dalam Bab XIV tentang pengelolaan pendidikan, terdapat bagian khusus yang bejudul Badan Hukum Pendidikan. Istilah BHP, pertama kali muncul dalam PP No 61/1999, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yang didefinisikan sebagai badan hukum yang mengatur PTN berbadan hukum milik negara, yang mengatur kelembagaan dan kewenangan perguruan tinggi (PT). BHP dalam pengertian ini, meskipun tidak dijelaskan tentang kejelasan status hukum dan wewenangnya dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, agaknya tidak terlalu bermasalah bagi pendidikan-pendidikan swasta yang umumnya bernaung di bawah yayasan.
Hal itu amat berbeda dengan apa yang disebutkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Bab XIV pasal 53 disebutkan, bahwa:
(1)  Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan
(2)  Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3)  Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
(4)  Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri
Penjelasan tersebut disambut dengan respon yang beragam oleh masyarakat, terutama di lingkungan pendidikan swasta. Sebab, pasal itu mengesankan adanya ’generalisasi masalah’ yang mencerminkan keberlakuannya secara umum, baik bagi lembaga pendidikan swasta maupun negeri. Padahal, kenyataan di tengah masyarakat menunjukkan, bahwa lembaga-lembaga atau satuan pendidikan itu mayoritas bernaung di bawah yayasan (swasta). Dari segi prinsip, BHP yang dimaksud dalam UU tersebut sama dengan yayasan sebagai mana dijelaskan dalam UU No. 16 tentang yayasan. Memang harus diakui, bahwa dalam dunia pendidikan kita, terutama dalam lingkungan yayasan yang diprakarsai oleh banyak pihak, sering terjadi ”benturan” atau tarik-menarik kepentingan dan kekuasaan (vested interest) antara satuan pendidikan, dengan pihak yayasan yang menaunginya. Sebagai pemilik yayasan merasa berhak untuk mencampuri masalah operasional sampai yang ”se-teknis” mungkin. Hal itu kemudian membuat pihak pengelola satuan pendidikan merasa ruang geraknya terlalu dibatasi, bahkan menyangkut wewenang dan kebijakannya. Meskipun hal ini kadang-kadang dilandasi oleh sikap kehati-hatian yayasan, tetapi seringkali hal itu  memunculkan kesan tidak adanya kepercayaan (trust) yayasan terhadap pengelola operasional dari satuan pendidikan yang bernaung di bawahnya.  
Lain halnya dengan lingkungan yayasan yang lebih mirip dengan ”yayasan” milik keluarga, di manajemennya secara keseluruhan hanya melibatkan sekelompok kerabat saja. Yayasan seperti ini terkadang terjerumus pada kepentingan rent seeking and profit oriented meskipun satuan pendidikan yang dikelolanya ditangani  secara professional dengan menggunakan pendidikan bermutu dan berkualitas. Akibatnya, merebak apa yang disebut dengan ”komersialisasi pendidikan”. Semakin banyak satuan pendidikan yang ditangani dengan cara seperti ini, maka semakin besar jarak antara pendidikan dan masyarakat luas dan menjadi sesuatu yang ”elitis”.
Masalah seperti ini barangkali tidak ditemukan dalam lingkungan satuan pendidikan negeri di mana dukungan finansialnya dilakukan oleh Pemerintah dan juga orang tua yang tergabung dalam Badan Pengelola Penunjang Pendidikan (BP3), dan Persatuan orang tua dan Guru (POMG) atau organisasi sejenisnya. Di sektor swasta, fasilitasi, dukungan financial dan advokasi satuan pendidikan dilakukan oleh yayasan dengan dukungan donatur, dan beberapa di antaranya sangat professional sehingga kualitas pendidikannya bisa diandalkan. Pemberlakukan BHP bagi lingkungan pendidikan negeri barangkali tidak terlalu bermasalah, karena Pemerintahlah yang memilikinya. Meski begitu perlu dicatat bahwa dalam beberapa kasus hal ini justru mengundang reaksi ”miring” dari beberapa kalangan termasuk manajemen satuan pendidikan negeri sendiri, terutama perguruan tinggi. Alasannya adalah bahwa dengan diterapkannya BHP bagi satuan pendidikan tinggi, maka biaya pendidikan akan menjadi mahal, karena dukungan finansial dari Pemerintah tentu tidak akan seperti sediakala. Itulah sebabnya mengapa penerapan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi perguruan-perguruan tinggi hingga saat ini masih berhadapan dengan berbagai kendala baik internal maupun ekternal.
Kita tidak berada dalam posisi yang mendukung jika didirikannya BHP bagi satuan pendidikan justru akan memperberat satuan pendidikan itu sendiri, apalagi kemudian satuan pendidikan pada akhirnya dianggap sebagai sebuah unit usaha yang diharuskan membayar pajak kepada pemerintah sebagaimana layaknya perusahaan-perusahaan profit yang berorientrasi bisnis. Ini sangat bertentangan dengan pronsip BHP sebagai lembaga nirlaba seperti dijelaskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Jika demikian yang terjadi, maka BHP hanya akan dianggap sebagai upaya untuk menghindari konsekuensi ketentuan yang berkaitan dengan ”yayasan” yang prinsipnya adalah organisasi sosial nirlaba, di mana realitasnya saat ini merupakan lembaga yang menaungi satuan-satuan pendidikan. 
Tujuan dari BHP adalah agar akuntabilitas dan mutu pendidikan yang dikelola oleh satuan pendidikan dapat lebih dipertanggungjawabkan pada masyarakat. Sebagai pihak yang bertanggungjawab, baik Pemerintah dan masyarakat tentu memerlukan kerjasama yang baik dan simultan dalam menunjang upaya peningkatan mutu pendidikan dan kemandirian pendidikan. Sebab, bagaimananpun Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) mensyaratkan adanya kemandirian sekolah/madrasah/perguruan tinggi sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan pengelolaan pendidikan. Dengan adanya BHP yang mandiri, maka diharapkan pengelolaan pendidikan bisa lebih ditangani secara lebih serius dan dengan demikian, peran masyarakat dalam pengelolaan satuan pendidikan lebih bisa ditingkatkan.
Namun demikian, penyusunan UU BHP sebagai tindak lanjut dari ketetapan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab IV Pasal 53 ayat 4, harus mampu menjelaskan keharusan dan tidaknya lembaga-lembaga atau satuan pendidikan swasta dan negeri untuk menjadikan keberadaanya di bawah badan yang berbadan hukum pendidikan. Sebab kalau tidak, maka ruang perbedaan penafsiran terhadap keharusan BHP akan semakin besar di masyarakat yang bisa saja nantinya akan menimbulkan persoalan-porsoalan yang lebih besar bagi penyelenggaraan pendidikan yang saat ini sedang berjalan.    
Di samping itu, agaknya perlu juga diperhatikan adanya beberapa persoalan yang akan muncul akibat diberlakukannya UU BHP nanti. Apakah yayasan-yayasan ataupun dinas pendidikan di daerah sudah siap menjalankannya? Seberapa besar tingkat kesiapan itu? Bagaimana dengan yayasan yang selama ini memiliki banyak satuan pendidikan, bahkan dari tingkat pendidikan usia dini, dasar, menengah dan perguruan tinggi?
Bukan penyelesaian masalah jika yayasan yang memiliki satuan pendidikan saat ini kemudian harus berubah statusnya menjadi badan hukum pendidikan. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana yayasan itu tetap eksis dan menjalankn fungsinya sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Tahun 1999 tentang yayasan (dengan mempertimbangkan berbagai usulan perubahannya). Bisa saja nantinya, BHP bersifat independen dalam urusan pengelolaan pendidikan bagi sebuah satuan pendidikan, sedangkan kepemilikian sarana dan pra sarana merupakan tanggungjawab yayasan. Jadi tingkat independensi BHP adalah dalam hal pengelolaan langsung menejemen pendidikan yang terangkum dalam konsep-konsep manajemen berbasis sekolah. Namun, harus ada pemilahan yang jelas antara fungsi Dewan Pendidikan, Komite Sekolah/Madrasah dengan BHP itu sendiri.
Atas dasar pemikiran seperti itu, maka jika setiap satuan pendidikan diharuskan memiliki BHP relatif bisa diterima di masyarakat, sekalipun, misalnya, sebuah yayasan yang menaungi banyak satuan pendidikan harus membuatkan beberapa akte notaris untuk membentuk BHP bagi masing-masing lembaga pendidikan yang dimilikinya. UU BHP yang akan diberlakukan nantinya harus pula menyinggung posisi, fungsi, wewenang, dan tanggungjawab yang harus diemban bersama antara yayasan, dewan pendidikan, komite sekolah/madrasah/perguruan tinggi, dan BHP itu sendiri, demi mengantisipasi kemungkinan timbulnya masalah-masalah yang menghambat penyelenggaraan pendidikan di masyarakat saat ini.

II. Dukungan Dana dari Masyarakat untuk Pendidikan
Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Managemen, selanjutnya ditulis MBS) dan Pendidikan Berbasis Masyarakat (Community Based Education, selanjutnya ditulis PBM) merupakan dua hal yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. MBS merupakan konsep di mana sekolah diberi keleluasaan dan wewenang yang lebih besar dalam pengelolaan pendidikan. Sementara dalam konteks PBM, penyelenggaraan pendidikan sangat mengandalkan tanggung jawab bersama di lingkungan masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, masyarakat di tuntut berperan aktif dalam proses pendidikan, baik moril maupun materil. Sebab, untuk memajukan sektor pendidikan, diperlukan biaya yang tidak sedikit—bukan berarti pendidikan harus diselenggarakan dengan biaya yang mahal. Oleh sebab itu, secara konstitusional, UUD 1945 pasal 31 ayat (4) hasil amandemen mengamanatkan, bahwa 20 % dari total APBN/APBD dialokasikan untuk sektor pendidikan. Meskipun demikian, dengan melihat kenyataan sekarang—di mana bangsa Indonesia belum sepenuhnya terlepas darti lilitan krisis—pemenuhan angka sebesar itu nampaknya belum bisa dilakukan secara langsung.  Berdasarkan Rapat Kerja Komisi VI DPR dengan Mendiknas, Menkeu, dan Kepala Bappenas pada 16 Januari 2004, bahwa angka itu baru bisa tercapai kira-kira tahun 2009. Ini karena beban yang harus ditanggung negara terlampau berat. Jika saat ini anggaran pendidikan adalah 3,49 persen dari total APBN atau sebesar 15,34 triliun, maka untuk memenuhi angka 20 %, pemerintah harus menyediakan 87, 76 triliun. Padahal, di tahun 2004 ini, utang yang harus dibayar pemerintah adalah sebesar 131,2 triliun atau 149 persen dari anggaran pendidikan.
Dukungan moril dari masyarakat, dengan adanya otonomi daerah, otonomi sekolah/madrasah, maupun perguruan tinggi, sedikit demi sedikit mengalami peningkatan. Namun dari segi materil, partisipasi masyarakat terbentur oleh tingkat kemampuan kontribusi ekonomi rata-rata mereka, sehingga sulit untuk dilaksanakan, bahkan sampai pada satuan-satuan pendidikan negeri di mana BP3 dan POMG belum bisa memberikan peran yang lebih berarti dalam hal pendanaan.
Keharusan dibentuknya BHP bagi satuan-satuan pendidikan pada dasanya akan menjadikan posisi masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan negeri dan swasta menjadi sama. Artinya, BHP –di satuan pendidikan negeri maupun swasta--yang dalam hal ini merupakan lembaga independen yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan di satuan-satuan pendidikan, memiliki ruang yang cukup besar dalam mengupayakan pendanaan, fasilitasi, dan advokasi pendidikan. Masalahnya, dalam suasanan krisis sekarang ini, sumber-sumber dana semakin berkurang dan tidak mudah dicari. Sementara upaya peningkatan mutu pendidikan harus terus berjalan jika masyarakat tidak mau ketinggalan.
Padahal hampir semua komponen menyepakati, bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu agenda priorotas dalam membangun bangsa. Dengan demikian seharusnya ada upaya-upaya serius dari Pemerintah untuk membiayai sektor ini di setiap lininya (dalam tenggang waktu menunggu angka 20% dari total APBN tercapai). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan Pemerintah dalam memberikan subsidi terhadap sektor pendidikan. Sektor-sektor lain yang memiliki tingkat perkembangan yang lebih baik, bisa saja dilakukan subsidi dana untuk alokasi pendidikan. Hasil pembayaran pajak dari perusahaan-perusahaan besar misalnya, bisa saja sekian persen diberikan untuk pendanaan pendidikan. Organisasi-organisasi nirlaba juga perlu memberikan kepedulian yang berarti untuk memperbaiki pendidikan. Di sini bukan seberapa besar alokasi yang diberikan untuk dunia pendidikan, yang terpenting adalah kesinambungan upaya dalam menunjukkan sikap kepedulian terhadap masalah pendidikan. Dengan demikian diharapkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan agar bisa tumbuh lebih baik. Dan di sini perlunya dipertimbangkan adanya pajak yang dikhususkan untuk pendidikan.    
Selain itu jika dipetakan, satuan-satuan pendidikan kita (selain yang negeri), mempunyai afiliasi yang cukup kuat dengan organisasi, perkumpulan, bahkan yayasan yang memiliki cukup banyak anggota, baik dalam skala daerah (kabupaten/kota), wilayah (provinsi), bahkan nasional. Ini artinya, bahwa ada peluang untuk melakukan koordinasi penggalangan dana dari masyarakat dengan cara yang lebih efektif melalui organisasi, perkumpulan, atau yayasan-yayasan tersebut untuk memajukan pendidikan. Banyaknya anggota yang berada di dalam organisasi, perkumpulan, atau yayasan-yayasan tersebut sebetulnya merupakan potensi yang amat besar untuk menggalang pendanaan pendidikan. Organisasi-organisasi tersebut juga bisa bekerja sama dengan pemerintah dalam mengkampanyekan pentingnya peningkatan mutu pendidikan bagi bangsa Indonesia.
Di masyarakat Islam, kita bisa melihat misalnya, Nahdlatul Ulama yang di lingkungan warganya ada begitu banyak satuan pendidikan dari semua jenjang pendidikan, baik formal maupun non-formal. Begitu juga di Muhammadiyah, Jam’iyah al-Washliyah, al-Irsyad, PUI, GUPPI, dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi ini agaknya bisa lebih efektif jika memprioritaskan program kerjanya pada peningkatan mutu pendidikan di lingkungannya. Di kalangan non-Islam, Katolik mempunyai tradisi yang cukup kuat dalam memajukan pendidikannya, begitu seterusnya.
Oleh sebab itu, perlu ada kesepahaman di antara organisasi dan perkumpulan-perkumpulan masyarakat yang ada untuk sama-sama mengupayakan pendanaan bagi dunia pendidikan. Jika, organisasi dan perkumpulan-perkumpunan yang ada mampu membangkitkan kesadaran warganya untuk berpartisipasi aktif dalam pendanaan pendidikan, maka potensi ekonomi yang amat besar itu akan sangat bermanfaat bagi penyelenggaraan pendidikan, serta terbangun komitmen yang tinggi terhadap dunia pendidikan.
Pemerintah juga perlu memberi prioritas subsidi terhadap satuan-satuan pendidikan swasta yang kondisinya masih mamprihatinkan. Tidak perlu lagi ada pembedaan antara satuan pendidikan negeri dan swasta. Peningkatan subsidi –sesuai dengan kemampuan yang ada—oleh pemerintah hendaknya diwujudkan dalam bentuk hibah (blockgrant) secara signifikan dapat diperuntukkan sebagai upaya ”recovery” bagi pendidikan-pendidikan swasta, dengan memberdayakan organisasi-organisasi sosial yang bergerak di bidang pendidikan (nirlaba) yang selama ini ada.
Di masa lampau, peran serta masyarakat lebih terlihat dalam menyelenggarakan pendidikan dan bantuan pembiyaaan pendidikan melalui BP3. Namun dalam ketentuan perundangan yang baru ini, peran masyarakat dapat berbentuk sebagai sumber, pelaksana dan pengguna hasil pendidikan baik dilakukan secara perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, maupun oleh organisasi kemasyarakan dalam menyelenggarakan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
Secara operasioal, dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pelayanan dilakukan melaui dewan pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana, pra-sarana, serta pengawasan penyelenggaraan pendidikan. Dewan Pendidikan dibentuk pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; sementara Komite Sekolah/Madrasah sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan pada tingkat satuan pendidikan. Selanjutnya masyarakat juga dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk memantau dan melakukan evaluasi terhadap proses kemajuan dan perbaikan hasil belajar secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistemik untuk pencapaian standar nasional pendidikan.
Dengan demikian, kerjasama antara Pemerintah dan masyarakat, terutama melalui lembaga-lembaga pendidikan yang merupakan syarat utama untuk memperbaiki penyelenggaraan dan kualitas mutu pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan dapat diwujudkan.

II.   Desentralisasi Madrasah
Desentralisasi Madrasah merupakan wacana yang berkembang sebagai dampak dari diberlakukannya sistem otonomi daerah yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Dalam hal ini PP LP Ma’arif NU mempunyai beberapa catatan penting:
Pertama, sesuai dengan ketentuan pasal 7 ayat (1) undang-undang no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.
Kedua, dengan demikian, seluruh bidang tugas pemerintahan di bidang agama, yang selama ini menjadi tugas Departemen Agama, adalah tugas pemerintahan (pusat) yang bersifat sentralistik, yang pelaksanaannya di daerah dilaksanakan oleh perangkat pusat di daerah (Kantor Wilayah dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota).
Ketiga, menjadi permasalahan, apakah penyelenggaraan madrasah merupakan tugas di bidang agama atau tugas di bidang pendidikan. Rapat Kerja Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama, secara bulat berpendapat bahwa penyelenggaraan madrasah merupakan tugas di bidang pendidikan.
Keempat, sebagai konsekuensi dari pendapat yang demikian, Pimpinan Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama menegaskan bahwa penyelenggaraan madrasah adalah kewenangan daerah, dengan alasan antara lain: [1] Pembinaan penyelenggaraan madrasah merupakan bidang tugas di bidang pendidikan; [2] Bidang tugas pendidikan adalah kewenangan daerah. Oleh karena itu, penyelenggaraan madrasah juga kewenangan daerah; [3] Agar tidak terjadi dualisme penyelenggaraan pendidikan; [4] Agar madarasah tidak terisolasi, sehingga menjadi marjinal; [5] Agar sistem mobilitas siswa dan pendayagunaan lulusan madrasah dapat berlangsung secara optimal; [6] Agar perencanaan pendidikan lebih operasional dan pembiayaan serta fasilitas yang diperlukan dapat lebih mencukupi kebutuhan pendidikan; [7] Agar madrasah dapat mengejar ketertinggalan yang selama ini dialaminya, sehingga dapat sejajar dan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lain; [8] Agar madrasah tidak ditinggalkan masyarakat pendukungnya; dan [9] Pada daerah-daerah yang belum siap melaksanakan antara lain karena PAD dalam DAU yang tersedia belum mencukupi. Departemen agama agar memberikan pelayanan yang berkeadilan. Tugas perbantuan dengan memberikan kepada daerah yang bersangkutan.
Kelima, mengenai kekhawatiran ciri khas agama Islam di madrasah menjadi pudar yang pada gilirannya akan menjadi sama dengan sekolah-sekolah lain di lingkungan Depdiknas. Hal tersebut tidak akan terjadi karena dapat dijaga oleh instansi Departemen Agama di daerah, mengingat pengembangan ciri khas agama Islam merupakan bagian dari substansi agama yang memang menjadi tugas Departemen Agama.
Keenam, kewenangan pemerintah di bidang agama, sesuai dengan pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, jelas menjadi tanggung jawab Departemen Agama. Dalam hal ini, pemerintah (Departemen Agama) dapat melakukan dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah, atau dengan memberikan tugas perbantuan, yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia (SDM) dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi madrasah pada daerah-daerah yang belum siap melaksanakan atau karena PAD atau DAU yang tersedia tidak mencukupi untuk otonomi daerah, maka Departemen Agama dapat mendukungnya dalam tugas perbantuan untuk pembiayaan penyelenggaraan madrasah di daerahnya masing-masing.
Ketujuh, kebijaksanaan Departemen Agama dalam hal desentralisasi madrasah sudah sangat mendesak. Kalangan madrasah mengharapkan adanya petunjuk pelaksanaan (juklak) di daerah, sekurang-kurangnya dalam bentuk edaran Menteri Agama tentang penyerahan kewenangan penyelenggaraan madrasah kepada gubernur, bupati/walikota di seluruh Indonesia.

III. Kurikulum
Diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 28 Tahun 1999 yang secara berturut-turut tentang Otonomi Daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (provinsi/kabupaten/kota), menandai terjadinya pergeseran yang amat mendasar pada pola pemerintahan di Indonesia, yaitu dari model top-down (instruktif) menjadi buttom-up (partisipatif). Hal ini merupakan bagian dari perjuangan reformasi bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan di segala aspek kehidupan, yang pada gilirannya banyak memberi pengaruh bagi kehidupan berbangsa, tidak hanya dalam sektor penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga semua aspek kehidupan termasuk pendikan. Oleh sebab itu, momentum tersebut menjadi kesempatan strategis dan menjadi starting point yang cukup tepat untuk melakukan pembenahan-pembenahan terhadap sektor pendidikan.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh sebagian besar masyakarat untuk meningkatkan kualitasi pendidikan sejak bergulirnya era reformasi bukan hanya dilatarbelakangi munculnya kesadaran akan rendahnya mutu produk lembaga-lembaga pendidikan yang ada dibandingkan dengan negara-negara lain. Ada faktor yang cukup fundamental yaitu terbangunnya keyakinan masyarakat, bahwa upaya untuk bangkit dari keterpurukan krisis multidimensional yang berawal pada medio 1997-an yang lalu, harus dimulai dari dunia pendidikan.
Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam konteks ini sesungguhnya memperolah kesempatan yang jauh lebih besar di banding pada masa Orde Baru. Diberlakukannya produk undang-undang pemerintah daerah adalah satu sinyalemen, bahwa sekarang ini pemerintah daerah, baik pada tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota memiliki keleluasaan dalam mengelola dunia pendidikan sendiri, tanpa harus selalu dikendalikan secara penuh oleh pemerintah pusat. Kondisi ini dengan sendirinya memberikan beberapa keuntungan dan peluang yang lebih besar bagi peningkatan mutu pendidikan di setiap daerah, dan secara khusus peningkatan SDM putra daerah. Pemerintah daerah dapat lebih leluasa memberikan kontrol, baik pada taraf proses ataupun hasil pendidikan di daerahnya. Di samping pada sisi lain, pemerintah daerah lebih leluasa mengeluarkan kebijakan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan (needs), tuntutan, aspirasi, lokalitas sosial dan budaya daerahnya.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga memberikan peluang yang cukup besar bagi penyelenggara kegiatan pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebab, produk undang-undang tersebut memberikan ruang partisipasi yang cukup lebar bagi masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan, sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat sekitar.
Yang langsung berkaitan langsung dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) adalah bahwa pada tahun 2004 akan diberlakukan kurikulum baru yang lazim disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Sejauh mana efektifitas pemberlakukan kurikulum ini, memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mengujinya. Sebab, untuk memberlakukan kurikulum semacam itu tentu harus ada kesiapan yang solid di kalangan guru maupun siswa, di samping tentunya perangkat penungjang kegiatan pendidikan lainnya. Maka, langkah awal yang tepat untuk mengefektifkan kurikulum tersebut adalah dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya guru dan siswa.  
Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (PP LP Ma’arif NU) sebagai bagian dari elemen bangsa, concern pada upaya pencerdasan bangsa dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang berakar dari semangat religiusitas dan kearifan kultural. Melalui koordinasi penyelenggaraan pendidikan dari mulai tingkat dasar, sampai perguruan tinggi di seluruh Indonesia, PP LP Ma'arif NU dari awal komitmen dan mendukung sepenuhnya upaya peningkatan mutu pendidikan nasional. Upaya peningkatan mutu pendidikan, tidak cukup sekedar menelorkan produk perundang-undangan tertentu atau konsepsi pendidikan yang matang, tapi juga bagaimana mengejewantahkan itu semua dalam proses penyelenggaraannya.
Karena itu, PP LP Ma'arif NU melihat bahwa untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, salah satu langkah strategis dan fungsional adalah adanya pemberdayaan seluruh perangkat pendidikan (brainware, software dan hardware) yang dimiliki untuk diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan yang sasarannya adalah mempersiapkan generasi muda yang memiliki kompetensi (akademik, keterampilan, kepribadian, spiritualitas atau penghayatan terhadap ajaran agama) dan ketakwaan terhadap Tuhan YME yang diwujudkan dalam sikap dan keterampilan hidup (life skills) di tengah masyarakat.
Kegagalan pendidikan kita disebabkan salah satunya oleh kurikulum yang terlalu mengandalkan input, dan melaupakan proses serta input seperti apa yang ingin dicapai dari kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan. Inilah ssesungguhnya yang hendak dicapai dari apa yang populer saat ini dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum Berbasis Kompetensi seharusnya mampu merangkum kebutuhan-kebutuhan anak didik, baik di masa sekarang maupun di masa mendatang. Di samping itu, kurikulum juga harus mampu mengarahkan pada pengembangan kepribadian peserta didik menjadi insan religius, pluralis, humanis, dan bermartabat.
Menyikapi hal ini, di samping menyusun strategi untuk berperan aktif dalam proses-proses perumusan kebijakan berkaitan dengan Kurikulum Nasional, LP Ma’arif NU juga sedang melakukan perbaikan-perbaikan terhadap kurikulum Ahlussunnah Waljama’ah yang selama ini diberikan secara internal pada satuan-satuan pendidikan Ma’arif NU. Langkah pertama yang dilakukan LP Ma’arif NU adalah dengan membuat buku sumber yang memuat spektrum pemikiran Ahlussunah Waljama’ah dan ke-NU-an secara keseluruhan yang diberikan kepada peserta didik di satuan-satuan pendidikan Ma’arif NU. Dalam sisa waktu masa khidmah 1999-2004, Insya Allah sudah dibuat GBPP untuk kurikulum Ahlussunnah Waljama’ah dan ke-NU-an yang akan diberlakukan secara nasional. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar